Pengembangan Vaksin Sel Dendritik di Indonesia: Jauh Panggang Dari Api

Pengembangan “vaksin” dengan sel dendritik di Indonesia bukan jawaban atas penanganan wabah Covid-19. Bagaimana sejarahnya?
Wujud sel dendritik. (https://otcdigest.id/)

Syahdan, di tahun 1973 ketika saintis berkebangsaan Kanada dan ahli imunologi, Ralph Steinman, pada tahun ketiganya bergabung dengan ilmuwan di laboratorium René Dubos Universitas Rockefeller, ia dan mentornya, Zanvil A. Cohn, menemukan salah satu sel penyaji antigen untuk imunitas. Steinmen dan Cohn mencoba pengamatan yang sedikit berbeda dengan mempelajari sel yang melekat pada limpa tikus, bukan dari selaput perut bagian dalam.

Penemuan sel itu kemudian kita kenal dengan nama sel dendirtik. Steinman menamakannya dengan meminjam kata Yunani: dendreon, yang berarti pohon. Ide penamaan itu datang dari bentuk selnya yang memanjang seperti pohon dan terus membentuk.

Sejak Steinmen mengambil kelas biologi sel di tahun 1960-an, sistem kekebalan tubuh dikaitkan dengan sejumlah penyakit misterius seperti lupus dan nyeri sendi. Kemudian ada vaksin baru yang berhasil melawan infeksi penyakit. Steinmen melihat bahwa peristiwa itu membawa perubahan besar dalam isu kesehatan masyarakat.

Steinmen adalah salah seorang–termasuk mentornya Cohn–yang mengagumi MacFarlane Burnet, peraih nobel dalam bidang fisiologi atas teorinya yang membagi respons imun dari tiga indikator: spesifitas; diversitas; dan memori. Namun, Steinmen mengambil pendekatan sedikit berbeda untuk meneliti bagaimana terbentuknya sistem kekebalan tubuh. Ia mempelajari respons kekebalan itu bermula, dan dia percaya bahwa karakteristik imunitas ini akan memungkinkan untuk mengatur respons imun, baik itu mencegah autoimunitas dan untuk membuat vaksin.

Steinmen memang suka mengumbar kalau selama ini vaksin hanya dibuat dan dikembangkan oleh ahli mikrobiologi, bukan ahli imunologi. “Seperti Pasteur,” katanya, “menggunakan mikroba yang sudah dilemahkan untuk merangsang sistem kekebalan.” Dia kemudian menghabiskan empat tahun terakhir dalam hidupnya meneliti cara memanfaatkan sel dendritik untuk membuat vaksin.

Vaksin individual

Kerangka konseptual untuk vaksin baru Steinman didasarkan pada eksperimen Daniel Hawiger, profesor di bidang mikrobiologi molekuler dan imunologi, yang  mengembangkan strategi untuk mengirimkan antigen ke sel dendritik. Tak seperti vaksin lain, vaksin ini akan dikirim ke sel dendritik di seluruh tubuh karena antibodi akan membawa antigen ke semua sel dendritik.

Untuk mengaktifkan sel dendritik, dibutuhkan reagen kultur dan molekul stimulasi atau antigen untuk menimbulkan rangsangan bawaan yang diinginkan. Misalnya, antigen spesifik untuk HIV, tuberkulosis, alergi, diabetes, atau kanker. Ia yang akan berfungsi sebagai kendaraan ke sel dendritik.

Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio menerangkan dalam satu diskusi, bagaimana proses pembentukan sel dendritik sampai menjadi vaksin. Orang yang akan divaksin diambil sel darah putihnya dari pembuluh darah pena, kemudian sel monosidnya dipisahkan lalu dikultur untuk dibiakkan menjadi sel dendritik.

Setelah menjadi sel dendritik, ia diperkenalkan dengan antigen. Antigen itu tergantung kekebalan terhadap virus apa yang akan dimunculkan. Kalau vaksinnya kanker, antigennya khusus kanker. “Nah dalam hal ini untuk SARS-CoV-2 dipakai satu protein (dari virus tersebut) yang sudah disiapakan sedemikian rupa kemudian diperkenalkan (ke) sel dendritik.”

Sel dendritik akan memakan antigen yang dibentuk dari protein SARS-CoV-2. “Protein, misalnya itu sepotong kue, akan ditelan oleh sel dendritik,” Amin Soebandrio menyederhanakan.

Sel dendritik menelannya karena protein dari SARS-CoV-2 itu dikenal sebagai benda asing. Kalau proteinnya itu adalah protein tubuh kita sendiri, maka tidak akan ditelan oleh sel dendritik. “Singkat cerita, protein tadi akan ditelan oleh dendritik sel kemudian di dalam itu akan dicerna.”

Protein yang tercerna itu dimunculkan kembali atau dipresentasikan sebagai antigen-antigen bersama molekul lain yang membantu pengenalan virus. Antigen-antigen yang muncul di permukaan sel dendritik, nantinya, ketika sel dendritik sudah disuntikkan kembali ke dalam tubuh itulah yang akan merangsang datangnya sel-sel imun.

Setiap sel manusia mempunyai karakter yang berbeda-beda, itu sebab vaksin sel dendritik sering disebut sebagai vaksin individual. Vaksin yang disuntikkan ke masing-masing individu dengan sel dendritiknya masing-masing.

Kritik terhadap vaksin sel dendritik

Metode vaksinasi seperti ini, dalam kondisi pandemi dikritik oleh Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Hermawan Saputra. Ia menjelaskan (dalam diskusi yang sama dengan Amin Soebandrio), karena vaksin ini bersifat personal sehingga tidak bisa digeneralisasi, itu berarti vaksin sel dendritik bukan upaya dari kesehatan masyarakat melainkan upaya kesehatan perorangan. Sedangkan saat ini kita membutuhkan upaya kesehatan masyarakat.

“Ini dari segi upaya yang sebenarnya agak bergeser pada akhirnya. Nah vaksin dari segi upaya kesehatan masyarakat menjadi upaya kesehatan perorangan,” kata Hermawan Saputra.

Vaksinasi, menurut Hermawan, harus memenuhi empat prasyarat utama jika menyoal upaya kesehatan masyarakat: mudah diakses, harganya terjangkau, berkualitas, dan aman.

Harga pengobatan kanker dengan metode sel dendritik, dikenal dengan terapi CAR-T, bisa mencapai 5-6 Miliar Rupiah. Sejauh ini, terapi untuk kanker, baru pada kanker prostat dan kanker kulit.

Selain mahal, kata Lily Hikam, ilmuwan yang mengambil gelar doktor di bidang Biomedis dari Universitas California, penelitian ini sangat melelahkan dan membutuhkan biaya yang tidak murah juga. Selain itu dibutuhkan laboratorium memadai, yang belum tersedia di Indonesia.

Vaksin sel dendritik seperti jauh panggang dari api. Tujuan vaksinasi adalah mencapai imunitas kelompok, namun vaksin dendritik sepertinya belum bisa menjadi andalan–sebagaimana yang digembar-gemborkan–dalam menjawab wabah Covid-19.

“Bayangkan semacam paradigma herd immunity, kalau intervensinya hanya intervensi perorangan, kemudian vaksin juga nanti untuk orang tertentu, tidak bisa digeneralisir ke berbagai kalangan, maka sulit kita mewujudkan herd immunity,” tegas Hermawan Saputra. []

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.