Kita Ngeri Pada yang Tak Dimengerti

Presiden mengumumkan dua kasus positif virus korona-baru, kepanikan yang muncul sudah lebih dari dua megaton. Bagaimana mengatasi aksi borong? Polisi akan diturunkan.
Indonesia masuk dalam daftar kasus terkonfirmasi Covid-19.

Ingatlah selalu maksim penting dari kedua orang tua angkat Clark Kent, nama resmi Superman, dalam dua kesempatan terpisah. Pak Kent bilang kepada si Man of Steel, “people are afraid of what they don’t understand.” Lalu Bu Kent, pada Batman v Superman mengingatkan, “People hate what they don’t understand.” Hanya sedikit beda diksi, tapi lebih kurang pesannya sama.

Kita tahu, Presiden dan kebanyakan menterinya pernah menonton film-film Marvel. Pidato-pidato internasional Presiden menyuratkan kenyataan itu. Nama Thanos dan tim Avengers dari Marvel, beberapa kali disebut. Terakhir, 10 Februari lalu, di depan Parlemen Australia, Presiden Joko Widodo mengutip kalimat terkenal Captain America dalam pertarungan terakhir para pahlawan bumi plus para penjaga galaksi melawan pasukan Thanos: “Avengers, assemble.”

Agar lebih fair dan tetap memiliki posisi imparsial terhadap film-film hero Hollywood, tentu produksi DC juga ditonton. Dengan begitu, kutipan di atas tidak terlalu asing.

Pengumuman Presiden mengenai kasus pertama virus korona-baru di Indonesia, Senin (2/3), disambut serbuan masyarakat (terutama kota) ke pasar swalayan, kecil atau besar. Reaksi warga yang panik memborong masker, cairan sanitasi tangan, dan multivitamin, sebetulnya sudah bisa disangka. Justru, pertimbangan inilah yang paling awal ditebak. Presiden, menteri dan sejumlah penasihat komunikasinya pasti pula langsung masuk ke titik ini, ‘bagaimana saat kita mengumumkan kasus positif, tidak mengundang kepanikan dan ketakutan.’ Bila kenyataan lapangan malah seperti yang dikhawatirkan, maka ada yang keliru menyiapkan pokok wicara (talking point).

Garis besar pernyataan Presiden kemarin, yaitu 1) memberi tahu bahwa “kita sangat serius” menghadapi virus korona-baru, terbukti telah sejak awal merepatriasi WNI dari Wuhan, dari kapal pesiar World Dream dan Diamond Princess, 2) menjaga 135 pintu masuk ke RI secara ketat dan memeriksa setiap orang dengan pemindai panas, dan semua itu adalah kerja tak mudah, 3) ketika mendengar kabar bahwa ada warga negara Jepang (tinggal di Malaysia) positif terkena virus korona-baru, pemerintah langsung menelusuri siapa yang kontak dengan kasus Malaysia tersebut. Ketemu.

“Dan tadi pagi, saya mendapatkan laporan dari Menteri Kesehatan bahwa Ibu ini dan putrinya, positif,” akhirnya informasi itu disampaikan.

Lalu kembali Presiden meyakinkan bahwa sejak awal pemerintah telah siap. Semisal, lebih dari 100 rumah sakit yang siaga dengan ruang isolasi yang baik, dan memiliki peralatan yang memadai. Bahkan “membocorkan” informasi yang belum pernah ia publikasi.

“Kita memiliki tim gabungan—yang tak pernah saya sampaikan—TNI/Polri dan sipil dalam penanganan ini,” kata Presiden.

Keterangan Presiden mengenai WNI positif virus korona-baru. Sumber: Sekretariat Presiden

Tanpa bermaksud mengajari kuda berlari, harus dibilang bahwa pengumuman Presiden, kemarin, mengandung dan mengundang tiga keliru dasar:

  • Presiden tidak memiliki pesan
  • Gagal paham “bagaimana menyampaikan apa yang harus disampaikan”
  • Terlihat tidak memiliki rencana

Prasangka baik

Mula-mula kita harus mengembangkan prasangka baik terhadap pemerintah. Apa yang dituturkan dan cara menuturkan semata-mata berangkat dari niat agar warga negara dapat tidur dengan nyenyak. ‘Kita bekerja saja dalam diam tanpa menimbulkan kegemparan, bila saatnya tiba publik akan tahu kita telah siap.’ Kira-kira seperti ini prasangka baik yang bisa kita pelihara.

Dan bila saatnya tiba, ketegangan situasi dibuat kendur dengan penataan tempat pengumuman dan bahasa tubuh. Duduk di sofa, menata intonasi, juga gestur.

Dalam khazanah komunikasi, memang ada dikenal—sebagian malah percaya—bahwa bahasa tubuh memegang kendali penting keberhasilan presentasi. Tak tanggung-tanggung, bahasa tubuh diberi skor 55 persen. Adapun nada, intonasi dan artikulasi menduduki tempat kedua dengan raihan 38 persen. Artinya, kata-kata itu sendiri hanya dicerna dan dimengerti sebanyak 7 persen.

Meski pakai angka, ini sesungguhnya pseudo-science. Pura-puranya sains. Bila tidak bisa dibilang: mitos. Sekali lagi, meski banyak yang percaya—dan kepercayaan itu bersumber dari buku yang dibaca dan disajikan di sekolah-sekolah kehumasan.

Sederhana saja, kalau bahasa tubuh paling penting, maka kita akan lupa apa yang pernah diucapkan Winston Churchill, Abraham Lincoln, John F Kennedy, dan Sukarno. Sebab, kita tak pernah menyaksikan mereka.

Sejak 30 Januari—tanggal pengumuman Darurat Kesehatan Masyarakat yang Memprihatinkan Dunia (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)—publik Indonesia membaca keadaan dunia gawat. Saat Presiden RI mengumumkan dua kasus positif, dunia sudah mencatat 87.137 kasus terkonfirmasi. Ada tambahan lima negara diterpa korona-baru: Azerbaijan, Ekuador, Irlandia, Monako  dan Qatar. Angka-angka itu mudah diakses oleh publik. Kemarin, Indonesia pun tak sendirian. Ada 5 negara lain yang juga melaporkan kasus baru: Armenia, Ceko, Republik Dominika, Luksemburg dan Islandia. Dalam sehari total kasus terkonfirmasi bertambah 1.804 orang.

Maka, publik menanti pesan, bukan sekadar informasi yang bisa disampaikan oleh Juru Bicara atau Menteri Kesehatan. Berdiri di mimbar dengan wajah serius atau bahkan sedih bahkan lebih meyakinkan alih-alih duduk di sofa dengan gestur kasual. Informasi terpenting dalam komunikasi mengenai wabah ialah apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

Kemarin, kita bahkan tak mendapatkan kronologi jelas mengenai bagaimana virus itu memapar dua kasus yang kini ditangani oleh Rumah Sakit Penyakit Infeksi dr Sulianti Saroso. Bukan identitas, tapi kronologi. Bukan usia masing-masing kasus pula yang perlu diketahui, tapi detil apa yang telah dan sedang terjadi.

Apa pula yang harus kami lakukan? Adakah tempat yang harus dihindari, bagaimana kami harus berlaku, kepada siapa kami mengadu?

Presiden bukan semata penyampai informasi. Pesan utama komunikasi dari otoritas—apalagi tertinggi—dalam darurat kesehatan masyarakat ialah ‘perilaku apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan bersama?’

Susunan penyajian informasi seperti disebutkan dalam ‘garis besar pernyataan Presiden’ di atas mencerminkan keliru kedua. Kita abaikan saja soal pilihan sofa, intonasi dan gestur. Pokok wicara yang menempatkan ‘pengumuman kasus positif’ seperti ‘diselipkan’ di antara informasi-informasi lain bukanlah tanpa sengaja.

Kesengajaan itu justru menunjukkan ada yang tak memahami bagaimana “menyampaikan apa yang harus disampaikan.” Presiden bicara di depan dan kepada wartawan. Mereka diajarkan untuk selalu mencariberita baru.

Bahkan pemerintah tak memberi apresiasi kepada warga yang menjadi kasus, atas inisiatifnya memberi tahu petugas kesehatan bahwa ia ditelepon oleh rekannya dari Malaysia tentang keadaan si rekan yang positif terkena virus korona-baru. Padahal, itu termasuk pesan penting agar warga lain yang memiliki gejala dapat lebih terbuka kepada petugas kesehatan. Pesan agar warga aktif mengurangi stigma.

Rencana pengelolaan risiko

Keliru ketiga, seperti disebut di atas, pemerintah terlihat tidak memiliki rencana. Betul, kata-kata “pemerintah siap” ada disampaikan. Tapi rencana pengelolaan risiko tidak muncul. Sebetulnya, bukan pula kemarin waktunya. Tanpa perlu menunggu kasus, untuk mengurangi risiko, rencana perlu dibuat dan diumumkan.

Bila pemerintah konsisten dengan klaim “mengikuti standar WHO” maka pasti mafhum bahwa standar itu termasuk komunikasi risiko—kelak krisis. Dan komunikasi risiko dini termasuk memberi tahu kepada publik mengenai keputusan-keputusan teknis, dan apa yang dapat dilakukan masing-masing orang untuk membuat dirinya lebih aman. Tujuannya, memungkinkan publik bereaksi secara lebih masuk akal, bukan memborong masker, cairan sanitasi tangan, multivitamin, atau malah sembako.

Terlihat ada yang tak menyelesaikan PR (pekerjaan rumah) dengan baik. Barangkali pada level risk assessment, boleh jadi pada communication surveillance. Yang jelas, tidak menyimak sungguh-sungguh ujaran orang tua angkat Clark Kent. Dan bila benar menurunkan polisi untuk mengatasi kepanikan warga, yang belum selesai bukan saja PR, tapi pelajaran dasar. []

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.