Mestinya, hari ini, kita bisa cek informasi itu di layar ponsel.
Seorang pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 meninggal. Setelah ia ditolak oleh 23 rumah sakit. Peristiwa ini terjadi di Yogyakarta, akhir Maret lalu. Beritanya dilaporkan oleh Tugu Jogja dan diunggah ke Kumparan.com.
Dari rumah sakit terakhir, RS Nur Hidayah di Bantul, pasien akhirnya dapat dirujuk ke RSUP Sardjito di Sleman. Tapi ia telanjur kritis. Seorang PDP lain yang sama-sama dirujuk ke Sardjito dari Bantul, meninggal pula. Ini dilaporkan oleh Tirto.id.
Pasien dengan gejala Covid-19 meninggal akibat rumah sakit rujukan penuh terjadi pula di Tangerang Selatan. Tak jauh dari Jakarta. Ia seorang wartawan, ditolak 5 rumah sakit, dua di antaranya rumah sakit rujukan pemerintah, yakni Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso.
Apakah wajar rumah sakit rujukan Covid-19 menolak pasien dengan gejala Covid-19? Menurut Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, itu wajar.
“Kapasitas penuh bagaimana, masak ditaruh di parkiran?” kata Yurianto seperti dikutip dari Liputan6.com, Kamis (26/3).
Jawaban ini bikin gondok. Tapi, masuk akal. Dialog itu mengungkit masa kanak-kanak kita ketika diminta orang tua membeli minyak tanah untuk kompor, tapi sedang asik bermain. “Warungnya tutup, mau bagaimana? Masak mau tunggu sampai besok buka?”
Si anak masuk akal juga. Kendati belum tentu ia sudah cek.
“Kalau penuh jangan paksa dimasukin, cari yang belum penuh,” kata Yurianto lagi, masih dikutip dari Liputan6.com. Kepada si anak: cari warung minyak lain.
Tapi cara mencari tahu rumah sakit mana yang masih memiliki kamar perawatan, mestinya bukan dengan jalan mendatangi satu per satu. Bila pasien dalam kondisi kritis, hampir pasti ia tak tertolong. Bila kelak diketahui ia positif, banyak orang berpotensi tertular.
Hari ini, bila Anda datang ke rumah sakit—dengan derita apa pun—dan dokter memutuskan Anda harus ditangani oleh rumah sakit yang memiliki fasilitas lebih lengkap, perawat akan menelepon rumah sakit rujukan. Bila yang dihubungi ternyata kamarnya penuh, perawat akan mencoba ke rumah sakit lain. Begitu seterusnya. Lama.
Anda mungkin sudah megap-megap ketika segala upaya perawat mencari kamar sedang dilakukan. Tapi, Anda punya harapan besar. Rumah sakit tempat Anda sekarang masih bisa berusaha memperpanjang megap-megap Anda.
Dalam kasus Covid-19 yang kritis, tak semua rumah sakit memiliki kemewahan semacam itu. Bila Anda datang dengan gejala terpapar virus korona-baru, perawat dan dokter tak akan sembarangan menyentuh Anda tanpa alat perlindungan diri (APD) yang memadai. Salah-salah mereka bisa tertular dan akibatnya rumah sakit kehilangan sumber daya untuk merawat pasien lain.
Laporan mengenai minimnya, bahkan tidak ada, APD di rumah-rumah sakit bukan rujukan sudah kita tahu. Solidaritas untuk memberikan mereka APD juga sedang digalang.
Jadi, kalau Anda kini megap-megap di rumah sakit itu dengan gejala Covid-19, tak banyak yang bisa dilakukan oleh dokter dan perawat. Mereka hanya terus menerus berusaha mencarikan rumah sakit rujukan. Telepon sana, telepon sini.
“Kecanggihan teknologi saat ini membuat semua hal menjadi mungkin,” kata Presiden Joko Widodo pada Ideafest 2018, di Jakarta.
Itu benar. Informasi mengenai ada atau tiada kamar di rumah sakit untuk pasien dengan gejala Covid-19, mestinya bisa diakses sejak dari rumah. Di tangan si pasien dan keluarganya. Lalu keluarga pasien menghubungi, konsultasi, dan bila dipersilakan datang, dengan demikian kamar “terpesan”.
Ini hanya perkara berbagi data. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan RI memiliki data lengkap mengenai kapasitas kamar, jumlah dokter, jumlah perawat, ruang isolasi, dan fasilitas penunjang lain dari semua rumah sakit rujukan Covid-19. Rumah sakit juga memiliki catatan berapa banyak kamar telah ditempati, berapa ICU dimiliki, berapa ventilator digunakan, dan (mungkin) berapa dokter dan perawat sudah kelelahan.
Langkah berikutnya adalah membuka jejaring data dan memungkinkan masyarakat mengaksesnya, dari tangannya. Terserah diunggah ke mana. Asal mudah dan data terus menerus anyar.
Sudah lama orang bisa antre secara elektronik untuk mengurus paspor. Menghemat waktu dan memberi kepastian kapan harus datang. Mencari tahu kapasitas rumah sakit, tentu bukan hal susah. Kecanggihan teknologi membuat semua hal menjadi mungkin.
Aplikasi penuntun jalan, Waze, menyediakan fasilitas pencarian rumah sakit rujukan. Caranya mudah, hanya dengan mengetik kata kunci seperti “rumah sakit corona” atau “covid”, lalu muncul rumah sakit rujukan di wilayah kita. Tapi Waze hanya memberi tahu arah jalan. Sebab, ia tak punya pula data ruangan rumah sakitnya. []
Sumber foto: Antara (diunduh dari Media Indonesia)