Covid-19 Belum “di Depan Mata”?

Pergerakan penduduk tetap tinggi dan anjuran jaga jarak kurang direspons.

Kami mendapatkan tiga komentar mengenai Covid-19 dan jaga jarak semeteran, kemarin. Komentar diperoleh melalui hubungan telepon. Pertama, seorang mahasiswa yang kuliah tatap mukanya sedang ditiadakan; kedua, kolega seberang laut yang kesal karena acara reaksi Pemda terhadap acara Ijtima Ulama di Gowa lambat, orang telanjur datang; terakhir, seorang kenalan warga senior, tinggal di pemukiman padat.

Mahasiswa: Iya, kita tahu sih ada Covid-19 di Indonesia. Sampai ada yang meninggal gitu. Tapi yang sembuh juga banyak. … Iya, sih memang kita sebaiknya di rumah. Jangan kumpul-kumpul dulu. Makanya mungkin kita perlu lockdown ya biar kita jadi mau-tak-mau gak bisa ke mana-mana.

Kolega seberang laut: Aih, itu ribuan orang sudah datang, Bang. Ribuan. Lusa (maksudnya Jumat, 20 Maret) sampai Minggu mereka berkumpul. Salam-salaman, berhimpitan. … Jauh-jauh hari lah mestinya mereka (maksudnya Pemda) kasih tahu panitianya supaya batal itu acara. Iyalah, kita tak boleh panik, tapi ketegasan pun masak tak boleh?

Warga senior: Iya pan kalau dari warga kampung sini gak ada juga yang dari luar negeri. Gak pernah ada juga yang ke sono-sono sedari dulu mah. Boro-boro ke luar negeri, ke DUPAN juga kalau ada yang ngajak. … Kagak ada yang TKW di sini, pan Abang tahu sendiri. … Lah kapan itu virus dibawa orang yang dari luar negeri. … Iya takut juga, tapi katanya kan itu gak bahaya, gak bikin sampai meninggal gitu. … Iya ada yang meninggal, tapi katanya lebih bahaya DB pan daripada COPID.

Di sambungan ketiga ini, dari arah musala sayup-sayup terdengar lirik gambus, “siapa ingin ke surga, pintu selalu terbuka, tak mudah dimiliki, hanya tuk orang suci, carilah pintu surga, dengan amal sendiri…” dan seterusnya. Lagu ini berjudul “Pintu Surga” dipopulerkan oleh Titi Said.

Kelak ketika magrib tiba, sesaat sebelum salat didirikan, “Bapak-bapak, anak-anak, rapikan barisannya, rapatkan saf. Ingat, kesempurnaan salat apabila saf rapat.”

Sementara Pemerintah Gowa akhirnya membatalkan acara Ijtima Ulama di Gowa, Sulawesi Selatan, yang sedianya dihadiri lebih dari 8 ribu orang, termasuk dari 48 negara. Laporan lapangan reporter Metro TV, pukul 9 WIB, menyebutkan sebagian acara tetap berlangsung. Partisipan acara abai bahwa kegiatan serupa di Malaysia menyebabkan lebih dari 500 orang terinfeksi virus korona-baru.

Pentahbisan Uskup Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Barat, juga tetap berlangsung. Meski Ketua Gugus Tugas Percepatan Penangangan Virus Corona, Doni Monardo, telah berkirim surat agar kegiatan itu dibatalkan.

Mengapa orang banyak belum turut kata Pemerintah, belum menyadari bahaya Covid-19 dan terlalu yakin bahwa virus ini dibawa dari luar negeri?

Apa karena angka kasus dianggap terlalu kecil? Bila melihat jumlah penduduk Indonesia 247 juta jiwa, kasus positif—hingga 18 Maret kemarin—sebesar 227, terhitung ‘hanya’ 0,8 per sejuta penduduk.

Kasus Covid-19 terkonfirmasi di Indonesia per 18 Maret 2020
* Data kasus terkonfirmasi dan pasien meninggal dunia untuk Banten dan Jawa Tengah, kami peroleh dari layanan informasi Pemerintah Banten dan Pemerintah Jawa Tengah.
* Sebagian besar data orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) tidak tersedia di layanan informasi Pemda-pemda di atas.

Padahal yang muncul sekarang hanyalah kasus-kasus terdeteksi. Andai akhir Februari lalu, tidak ada pasien yang memberi tahu dokternya bahwa ia berkontak dekat dengan seseorang yang kemudian dinyatakan positif Covid-19, maka tak ada pergerakan untuk melacak kontak-kontak lain sejak 2 Maret. Lalu Covid-19 akan tetap laten di Indonesia.

Pun dari kasus-kasus tersebut: positif, suspek, dan dalam pengawasan, sebetulnya sudah lebih dari cukup untuk masyarakat mematuhi anjuran pemerintah. Simak saja data Jakarta yang menyebut penyebaran virus ada di 118 kelurahan.

Atau dugaan lain: komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) belum “betul-betul diterima” masyarakat?

Apakah Covid-19 masih semata bacaan di WhatsApp Group, berita sekilas dengar di radio, perdebatan di televisi dan tautan-tautan media daring?

Perlu dilihat, barangkali ada pesan yang hilang dan tak terlalu atau tak betul-betul kelihatan di mata publik:

  • Pesan kasat mata
  • Titik periksa
  • “Bahaya”

Berbeda dengan kampanye politik, penyadaran lewat media KIE belum terlihat di ruang-ruang umum. Ada video tayang berisi pesan dari Presiden Joko Widodo di bandara, dan stasiun kereta api, misalnya. Adapun poster, sedikit dipasang. Poster produksi Kementerian Kesehatan ini salah satunya:

Pemasangan poster ini sedikit sekali. Ada ditemui di bus, halte dan beberapa toilet mal.

Poster diunggah di situs Kementerian Kesehatan ketika nama penyakit dan nama virus masih bertitel “2019 Novel Coronavirus” atau 2019-nCoV. Entah mengapa kata-kata “berasal dari Cina” ditebalkan dalam poster ini. Kemenkes kembali mengunggah poster yang sama, pada 7 Maret, sembari melengkapi beberapa materi KIE lainnya.

Usul: sebaiknya dikeluarkan poster baru dengan nama penyakit yang betul, Covid-19. Boleh saja dilengkapi keterangan nama virusnya.

Usul juga: menghilangkan kata-kata “Virus ini berasal dari Cina” yang tetap muncul dalam poster versi 7 Maret.

Pemasangan materi KIE di ruang-ruang umum tak bisa diremehkan. Masyarakat bisa memperoleh informasi detil melalui perangkat komunikasi genggamnya. Tapi KIE di depan mata membuat orang terus menerus menyadari bahwa ia berada di ruang yang diharuskan menjaga perilaku. Dalam hal ini, perilaku yang mencegah dirinya berpotensi tertular virus.

Gagasan praktis adalah tetapkan saja status karantina wilayah di suatu daerah. Minta tentara dan polisi berjaga di banyak tempat. Maka, orang sadar bahwa lingkunganya tengah berhadapan dengan bahaya, dan ini kali bahaya yang tak kasat mata. Tapi gagasan praktis ini kompleks pelaksanaannya.

KIE berkontribusi menggantikan sebagian peran aparat. Orang terus terjaga sejak membuka jendela atau keluar dari kediaman. Ada baliho, papan reklame, yang mudah dilihat.

Mungkin sedang disiapkan. Dan mungkin TNI/Polri yang kini terlibat aktif dalam operasi penanganan Covid-19 di Indonesia bisa bergegas membantu. Seperti dulu merilis spanduk-spanduk “Damai Itu Indah” di setiap wilayah kerja Koramil dan Polsek.

Kehadiran yang kurang lainnya adalah titik periksa (checkpoints). Selain berfungsi “menangkap” kasus-kasus potensial dengan gejala Covid-19 (ada banyak kasus positif Covid-19 di dunia didapati tanpa gejala), kehadiran titik periksa turut membuat orang dalam keadaan terjaga. “Virus bisa hadir di lingkungan kita.” Ini tak cukup di kantor-kantor, atau terminal lintas rel terpadu (LRT)/moda raya terpadu (MRT). Pergerakan orang dari satu kelurahan/desa ke kelurahan/desa lainnya perlu dipindai, dan orang kemudian tahu, ia tak bisa bergerak dengan mudah.

Adapun yang kerap hilang dalam pesan-pesan komunikasi, informasi dan edukasi, agaknya “bahaya” dari Covid-19. Para ahli menyatakan, ini bukan virus mematikan, namun tak bisa diabaikan karena tingkat penularannya sangat cepat. Mereka yang mengalami gangguan pernafasan akan makin menderita—dan bisa berujung kematian—apabila terinfeksi virus penyebab Covid-19, yakni SARS-CoV-2.

Kebanyakan pesan menghindari kata ‘bahaya’, demi menjaga agar orang jangan panik. Bisa jadi betul, tapi tanpa memberi tahu risiko apa yang bakal dialami orang, komentar warga senior yang kemarin kami hubungi jadi pembenar bagi banyak orang: “lebih bahaya DB pan daripada COPID.”

Mungkin pesan yang tak ragu dengan kata ‘bahaya’ itu seperti dicontohkan “Mas Menteri” (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim) dalam video ini:

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.