Apa Isu Utama WNI di Diamond Princess?

Apa yang kita bicarakan tentang WNI di kapal-kapal dengan virus korona baru, sebetulnya tentang perlindungan warga negara dan pekerja migran.
Diamond Princess di Yokohama, Jepang.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia terlihat menguasai pemberitaan mengenai nasib warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di tiga kapal pesiar di luar negeri. Dua kapal sandar dengan status karantina, satu kapal ditolak di beberapa negara—termasuk oleh Indonesia. Paling menyita perhatian adalah kapal pesiar Diamond Princess yang sandar di Yokohama, Jepang. Di dalam kapal itu terdapat 78 WNI yang bekerja sebagai kru.

Hingga 25 Februari 2020, ada 9 kru asal Indonesia yang terkonfirmasi Covid-19. Mereka dinyatakan positif terpapar virus SARS CoV-2 (penyebab Covid-19). Pemerintah RI, harus dibilang, lamban mengambil keputusan. Kepada media massa, kru menyampaikan rasa frustrasi dan merasa “ditinggalkan”. Maklum, sejak Pemerintah Amerika mengevakuasi warganya dengan dua pesawat carter, 17 Februari, rombongan demi rombongan pergi.

Di Istana Kepresidenan, 24 Februari lalu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, justru memberi keterangan dengan empat poin utama yang keliru. Bila kata ‘keliru’ dianggap kasar, maka kita sebut: tak punya nilai gizi.

Pertama, ia menyampaikan pemerintah tak ingin terburu-buru mengambil keputusan untuk mengevakuasi WNI dari Diamond Princess. Alasannya, ingin menjaga Indonesia tetap “green zone” dari virus baru tersebut. Sedikitnya ada dua alasan mengapa pernyataan ini keliru.

Paling awal harus kita sebut: konstitusi. Warga negara Indonesia, di manapun berada berhak atas perlindungan dari negaranya, termasuk dilindungi dari rasa takut. Karena konstitusi, maka sifatnya mandatory. Tak boleh tidak.

Tim kesehatan Filipina bersiap memeriksa OFWs yang akan disembarkasi dari Diamond Princess di Yokohama, Jepang. Sumber foto: Kementerian Luar Negeri Filipina.

Alasan kedua, terkait status kedaruratan global yang sedang berlangsung. Kita tahu, pada 30 Januari lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan Darurat Kesehatan Masyarakat yang Memprihatinkan Dunia (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC) atas wabah virus korona baru. Saat diumumkan, nama wabahnya berkode 2019-nCoV. Ini adalah deklarasi keenam kalinya sejak Regulasi Kesehatan Dunia (International Health Regulation/IHR) dikeluarkan tahun 2005.

Begitu WHO mengumumkan PHEIC, maka setiap negara wajib menekan penyebaran infeksi, mencegah penyebaran lanjutan, dan berkontribusi terhadap respons dunia. Setiap negara, bahu membahu. Meminjam istilah Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, “We are all in this together, and we can only stop it together.”

Maka, sungguh terlalu ketika Indonesia memilih berlama-lama untuk menyelamatkan warganya sendiri. Alih-alih membantu Pemerintah Jepang yang bekerja mengurusi kesehatan 3.711 orang di kapal itu—tanpa melihat kewarganegaraan—Indonesia malah memberi beban. Pada isu ini, Menteri Kesehatan berkontribusi pada memburuknya diplomasi Indonesia.

Simaklah poin kedua dari Pak Menteri yang menyebut bahwa Pemerintah Indonesia sedang bernegosiasi dengan Pemerintah Jepang mengenai pemulangan WNI dari Diamond Princess. Bila IHR 2005 mensyaratkan solidaritas dunia untuk mengatasi wabah, Indonesia malah bernegosiasi. Pilihan kata “negosiasi” membingungkan—bila tak bisa dibilang menyesatkan. Sebab, isu pemulangan (repatriasi) warga negara dari kapal yang bervirus bukan sejenis isu perdagangan, ekspor-impor, atau tawanan perang.

Sungguh, negosiasi tidak diperlukan. Makin lama orang berada di Diamond Princess, makin berpotensi terpapar virus. Per 25 Februari, jumlahnya 691 orang. Angka ini bertahan lantaran semakin banyak orang yang telah turun dari kapal.

WNI terkonfirmasi positif Covid-19 pertama kali terjadi pada 17 Februari, sebanyak 2 orang. Sehari kemudian, dua orang lagi dilaporkan positif. Pada 22 Februari ada tambahan seorang. Esoknya, langsung 4 WNI dinyatakan terkonfirmasi. Rekomendasi pemulangan yang mulai digagas hampir bersamaan saat evakuasi warga Amerika, mbuletselama seminggu lebih.

Poin ketiga pernyataan Menteri Kesehatan malah bukan cuma keliru, tapi kurang meyakinkan. Ia mengaku Indonesia sangat hati-hati mengikuti kaidah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Kita patut sangsi, karena WHO tidak memberi panduan keputusan suatu negara untuk repatriasi warganya dari suatu wilayah wabah. Belum lagi bila mengingat betapa Kementerian Kesehatan lebih suka berbantahan dengan WHO ketimbang “mengikuti kaidah.” Contohnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Achmad Yurianto, yang berkeras bahwa SARS CoV-2 berbeda—ia sebut hampir 70 persen—dengan Covid-19. Padahal, saat mengumumkan penamaan virus dan penyakit terbaru ini, dan diabadikan dalam situs resminya, WHO menyatakan SARS-CoV-2 adalah nama virus yang menyebabkan penyakit Covid-19. Dari mana sumber Achmad Yurianto? Anonim.

Keliru keempat, dan ini agaknya kunci dari kerumitan Jakarta mengambil keputusan: “Pemerintah masih memikirkan seperti apa langkah penanganan di dalam negeri setelah mereka dipulangkan.”

Menteri Kesehatan berdalih ‘hati-hati’ mengenai rencana pemulangan WNI dari ancaman Covid-19, tapi kata itu digunakan sebagai ganti dari ‘kurang daya’.

“Saya Mau Mereka Pulang”

Pada hari Valentine, publik Filipina dibuat terenyuh dengan video yang muncul di media sosial. Tayangan itu memperlihatkan kru kapal menari dengan semangat positif meski hidup dalam karantina. Beberapa hari kemudian, kru Filipina menciap kembali di media sosial, meminta pemerintah memulangkan mereka. Menteri Luar Negeri Teodore Locsin langsung merespons, “I want them home, now.”

Dan kru Filipina terbang dari Jepang, pulang kampung, 25 Februari. Sebelumnya, media massa Filipina menulis, “two chartered planes of flag-carrier Philippine Airlines will be flying to Japan on Tuesday to pick up the OFWs.” OFW adalah kependekan dari Overseas Filipino Worker, demikian mereka menyebut para pekerja migrannya. Kita bilang: TKI.

Maka, jelas siapa pejabat yang memegang mandat melindungi WNI di luar negeri sebagaimana amanat konstitusi. Terang benderang siapa pejabat yang bertugas untuk mendampingi pekerja-pekerja migran Indonesia. Mungkin Bu Menteri Tenaga Kerja dan Pelaksana Tugas Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI)—pengganti BNP2TKI—belum betul-betul menyimak situasi. Kita tak mendengar suara mereka. Sayup-sayup pun tidak.

Tapi, seperti diberitakan media massa, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, telah menimbang rencana evakuasi sejak ia mendengar ada 3 WNI terkonfirmasi Covid-19. Itu artinya, kita melihat “negara sempat hadir.” Debat Menteri Kesehatan di dalam rapat atau pun di depan media, sesungguhnya telah membuat koleganya tidak dapat bekerja maksimal menjalankan perintah konstitusi.

Dalih Menteri Kesehatan justru memperlihatkan upaya “negara hadir” itu terhenti. Demi statistik. Karena lema “green zone” yang ia sebutkan, atau katakanlah red atau yellow, tak dikenal dalam status wabah di Indonesia. Indonesia bukan Singapura yang memiliki DORSCON level (Disease Outbreak Response System Condition).

Kita tak bisa berkilah “demi menyelamatkan 264 juta penduduk agar tak tertular” dalam kasus ini. Indonesia negara kepulauan, belasan ribu jumlahnya. Ada lebih dari 2.800 rumah sakit di Indonesia. Anggaran Kementerian Kesehatan lebih dari Rp 132 triliun. Kita memiliki laboratorium kesehatan, ahli epidemi, dan dokter-dokter tangguh berdedikasi yang tak pernah gentar menghadapi penyakit.

Pun bila Indonesia tak adekuat mengatasi orang terduga SARS CoV-2, kibarkan bendera putih kepada WHO. “Kami tak sanggup.” Maka, dunia akan membantu.

Saya percaya, apapun caranya, pada akhirnya seluruh WNI itu akan pulang ke tanah air. Sebelum atau setiba di kampung halaman, ada baiknya mereka memikirkan untuk menghubungi pengacara publik. Serikat Pelaut, yang juga belum bersuara, bolehlah membantu mereka.[]

Artikel ini muncul pertama kali di https://lefo.id/menulis/tulisan/180/apa-isu-utama-wni-di-diamond-princess

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.