Pers, Kita Bukan di Arena Balap

Saran #02 kepada media massa: melawan Covid-19 di antaranya memilih kata. Jangan laporkan angka kasus dengan diksi “melonjak”, “lampaui”, “salip”, “cetak rekor”.

Kata mewakili fakta. Grafik harian kasus-kasus terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia naik terus sejak 6 Maret. Persentase tertinggi terjadi pada Senin, 9 Maret, sebesar 216 persen dari sehari sebelumnya 6 pasien menjadi 19 pasien. Berdasarkan jumlah kasus, angka tertinggi terjadi pada Rabu, 24 Maret, yakni 107 pasien sehingga kasus terkonfirmasi positif hari itu menjadi 686 pasien.

Apa bisa kita bilang? Melonjak? Jangan.

Kasus harian Covid-19 sejak diumumkan pertama kali, 2 Maret 2020

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tak melarang kita menggunakan kata “melonjak” untuk menyebut ada yang ‘meloncat ke atas’, ‘melambung’, ‘meninggi’ atau ‘meningkat’ seperti ‘kenyataan’ grafik di atas.

KBBI tak pernah memikirkan dampak suatu kata. KBBI mengenal istilah ‘kabar buruk’, misalnya, tapi tak menghitung risiko orang yang mendengarnya. KBBI, boleh dibilang, dingin. Tak berempati. Meski kata empati dan antonimnya turut ia catat.

Itu sebab, selain memeriksa kamus untuk menulis ejaan dengan benar dan sesuai arti denotatifnya, jurnalis mesti membuka peluang-peluang konotatif. Menghitung kemungkinan psikologis pembaca, pendengar, dan pemirsa.

Kita sudah mafhum bagaimana pelanggan media tak terlalu terkejut, misal, ketika pagi hari membaca kabar “harga bahan pangan pokok melonjak 200 persen.” Tema kenaikan harga bahan pangan dikenali dari waktu ke waktu. “Yah, begini ini bila mendekati puasa dan lebaran.” Atau, “para penimbun sedang ambil untung.” Bila pun kaget, sebentar kemudian sudah mendapat pembenaran sendiri. Menggunakan kata “meroket” pun, mangkel saja dibaca.

Covid-19 berbeda. Ia isu yang belum dikenali benar. Dan kita, mengutip orang tua Superman, “ngeri pada yang tak kita mengerti.”

Apalagi, bila angka-angka itu digali lebih dalam, “melonjak” bukanlah fakta yang valid. Ia tak mewakili kenyataan yang terjadi dan akan terjadi. Dua kasus pertama yang diumumkan pada 2 Maret, bisa dibilang berkah dari keterangan pasien kepada dokternya bahwa ia melakukan kontak dekat dengan seorang positif Covid-19 yang tinggal di Malaysia. Tanpa keterangan itu, tanpa rujukan sang dokter, barangkali angkanya akan berbeda.

Rata-rata temuan kasus positif Covid-19 di Indonesia, setelah 2 Maret, adalah hasil lacakan kontak dari kasus terkonfirmasi sebelumnya. Ini berarti, ada kerja yang jalan.

Indonesia—sebagaimana disebutkan dalam pelajaran tentang “wawasan nusantara”—sebagai tempat persilangan dua benua dan dua Samudra, karuan tidak bebas dari wabah semacam virus SARS-CoV-2 seperti pernah diyakini.

Kita belum tahu apakah statistik Covid-19 di Indonesia hari-hari ini, telah mewakili peristiwa yang sebenarnya. Kita sebetulnya berharap ada kenaikan lebih tinggi pada hari-hari mendatang. Bila saat ini kurva melandai, kita justru curiga ada yang tak bekerja.

Maka, “melonjak” seperti ditulis beberapa media, di antaranya Detikcom, 21 Maret, tidak tepat digunakan. Kalimat kedua pada kepala beritanya, “Angka ini sudah melonjak tajam dari awal mula kasus ini dikonfirmasi pemerintah,” masuk kategori “not even wrong.” Terjemahan bebasnya: dibilang salah saja belum bisa.

Kata “melonjak” dapat digunakan bila dimaksud ikhtiar menjelaskan apa yang terjadi. Seperti ditulis Tirto.id pada 15 Maret.

Meski Tirto memulai dengan kalimat agak ajaib, “Jumlah pasien positif virus Corona atau COVID-19 di Indonesia melonjak drastis usai pengumuman oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan virus Corona Achmad Yurianto…”

Tentu saja kenaikan angka itu tidak terjadi “seusai” pengumuman Yurianto. Kenaikan terjadi “sebelum” Yurianto mengumumkannya.

Tapi, Tirto sedikit lebih masuk akal ketimbang Tribunnews.com yang membuka berita dengan kalimat, “Dulu nihil kini jumlah pasien positif virus corona di Indonesia terus melonjak tajam.”

Tribunnews.com memberi contoh sempurna perihal “not even wrong” dengan memberi sentuhan balada “dari tiada menjadi ada.” Lah, kalau ia tetap tiada, kasusnya di mana? Beritanya apa?

Tubuh beritanya: “Sementara itu pasien meninggal bertambah menjadi 25 orang, dan 19 di antaranya dinyatakan sembuh. Padahal sebelumnya pemerintah baru mengumumkan ada 227 kasus Covid-19 di Indonesia.” Apa maksud ngana?

Apa karena para editor bekerja dari rumah? Atau dictionary distancing?

Hal lain yang tidak pantas adalah menuliskan angka kasus Covid-19 seperti laporan pandangan mata dari arena balap Formula 1, atau membacakan peringkat kesebelasan sepak bola. “Angka kematian akibat Covid-19 di Italia Salip China,” tulis Sinar Harapan, 20 Maret. Pada hari yang sama, Investor.id memberi judul beritanya, “Korban mati akibat korona di Italia salip Tiongkok.”

Masih pada 20 Maret, Tagar.id mengulas topik serupa dengan sensasi “yang satu mengalahkan yang lain.” Judul beritanya, “Kematian akibat Covid-19 di Italia melampuai China.”

Gaya beberapa media bermain-main dengan kata-kata bombastis masih berlanjut. Ini kali yang digunakan adalah kata “rekor”. Arti rekor menurut KBBI adalah hasil terbaik, jumlah terbanyak, dan terbaik (tertinggi). Ia biasa digunakan untuk menunjuk sesuatu yang mengagumkan.

Apa yang mengagumkan dari “Italia catat rekor baru dengan hampir 800 kematian akibat Covid-19” seperti ditulis Beritasatu.com? Kita tak melihat Michael Phelps di kolam renang. Dan ini kolam kematian.

Mengapa tragedi ditulis dengan gaya seperti sesuatu membukukan prestasi seperti contoh: “Angka kematian Corona cetak rekor dunia, Italia tutup pabrik!” Perhatikan, ada tanda seru pula.

Hubungan kausalitas apa yang mau dibangun dari judul Suara.com ini? “Rekor Kematian di Italia, 369 Positif di Indonesia.”

Kilas berita internasional yang dirangkum CNNIndonesia.com juga seperti tak memiliki gagasa lain: “Rekor kematian corona Italia hingga Malaysia lockdown 14 hari.

BBC Indonesia, 17 Maret, mungkin bisa berdalih “menerjemahkan” dari laporan bahasa Inggris ketika menulis, “Inggris juga mencatat rekor 14 orang meninggal dengan jumlah total 35 orang.” Tapi ‘record’ sudah berarti ‘mencatat’ atau ‘mencatatkan’. Dan menerjemahkan berarti juga alih bahasa. Maka, kaidah yang diikuti adalah kaidah bahasa tujuan terjemahan. Ada kabar gembira, inisiatif oleh lebih dari 50 media nasional dan daerah, media televisi, radio, cetak, siber dan media sosial untuk bersama memberi edukasi mengenai Covid-19. Nama inisiatifnya #MediaLawanCovid19. Kampanye jejaring media ini muncul pertama kali hari Selasa, 24 Maret.

Berhenti menulis berita mengenai angka kasus dengan kata “melonjak”, “melampaui”, “salip/menyalip”, “cetak rekor” adalah sebaik-baik upaya #MediaLawanCovid19.

Kabar gembira lain: tidak ada judul yang diawali dengan kata “wow” atau “wah”. Awas saja kalau sampai ada. []

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.