Epidemi Disinformasi

Pasien pertama wabah bernama kebenaran. Tak pernah disebutkan oleh Juru Bicara Pemerintah saat mengumumkan data mutakhir, saban petang. Ia memang belum mati. Hanya butuh ventilator.
Kebebasan pers merawat demokrasi

Selama 20 tahun, barangkali belum pernah kita merasa begitu membutuhkan jurnalisme seperti hari-hari ini. Persis seperti kita membutuhkan dokter, perawat, apoteker, dan ahli laboratorium menghadapi pandemi. Tak ada yang mengungguli satu sama lain.

Sebab, dalam setiap bencana, “orang membutuhkan informasi sebanyak mereka membutuhkan air, makanan, obat-obatan dan tempat tinggal (shelter),” kata Markku Niskala, 2005. Ia, saat itu, menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (The International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies/IFRC). “Informasi dapat menyelamatkan hidup orang, mata pencariannya, dan sumber-sumber dayanya. Informasi memberi kekuatan.”

Dua hari lagi Natal tiba, saat Niskala berpidato. Dunia tengah bahu-membahu membantu orang-orang yang menjadi korban tsunami Samudra India, Desember 2004. Dari pengalaman operasi kemanusiaan di wilayah terdampak tsunami itulah sumber kalimat Niskala.

Kita perlu menggarisbawahi “informasi memberi kekuatan.” Informasi yang benar membuat kita memahami lebih dalam tentang kebutuhan dan cara yang tepat merespons. Sebaliknya, informasi yang lemah–apalagi salah–menyebabkan intervensi bisa keliru, bahkan berbahaya. Bisa menyebabkan jatuhnya korban baru. (Selengkapnya bisa dibaca: World Disasters Report 2005).

Kita boleh menduga, pemerintah memiliki informasi yang lemah mengenai situasi wabah di Indonesia, terutama pada bulan pertama kasus terjadi. Otoritas kesehatan tidak menyiapkan diri dan masyarakat untuk menghadapi serangan virus–yang tak bisa disebut mendadak. Pak Menteri bisa berdalih bahwa ia telah menyiapkan langkah mitigasi. Salah satu buktinya, ia menerbitkan keputusan pada 4 Februari (Kepmenkes No. HK.01.01/Menkes/104/2020) tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya.

Baca juga: Bersiap 600 Ribu Kasus

Tapi, siapa yang tahu? Apa Pak Menteri lupa bahwa elemen penting mengurangi dampak bencana ialah menyiapkan masyarakat? Tidak. Bunyi Kepmenkes itu menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan upaya penanggulangan yang meliputi:

  1. komunikasi risiko dan peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi kesehatan kepada masyarakat secara berkala termasuk kepada masyarakat yang akan berpergian ke wilayah terjangkit, dengan materi terutama mengenai pencegahan penyebaran penyakit melalui praktek perilaku hidup bersih dan sehat dan antisipasi penularan;
  2. melakukan kesiapsiagaan, deteksi, serta respon di pintu masuk negara dan di wilayah;
  3. penyiapan fasilitas pelayanan kesehatan perawatan dan rujukan serta fasilitas penunjang seperti laboratorium dan bahan logistik kesehatan yang diperlukan beserta jejaringnya secara terpadu dan berkelanjutan; dan
  4. pelaksanaan koordinasi dengan lintas sektor untuk efektivitas dan efisiensi upaya penanggulangan Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV).

(Kata “berpergian”, “praktek”, dan “respon” diubah menjadi huruf miring oleh SpektatorID untuk penanda kesalahan penulisan dalam dokumen Kepmenkes. Ejaan yang benar untuk ketiga kata itu ialah “bepergian”, “praktik”, dan “respons”).

Komite Internasional untuk Taksonomi Virus (International Committee on Taxonomy of Viruses/ICTV) mengubah nama virus menjadi SARS-CoV-2, pada 11 Februari. Sudah benar bila Kepmenkes yang diterbitkan tanggal 4 Februari masih menggunakan nama 2019-nCoV.

Lebih baik kabar buruk

Lama sebelum kasus pertama diumumkan Presiden Joko Widodo, 2 Maret, Indonesia telah menghadapi epidemi bernama disinformasi. Menteri Kesehatan selalu meyakinkan bahwa Indonesia terbebas dari virus yang tengah mendunia. Tak heran, bila Pemerintah malah berencana berpromosi wisata Indonesia dengan diskon 30 persen, 17 Februari. Secara global, saat itu virus terkonfirmasi menginfeksi 73.258 orang.

Baca juga: Lini Masa Februari 2020

Tak ada yang membunyikan alarm peringatan di dalam negeri. Saat Menteri Kesehatan, secara diam-diam, menandatangani penetapan mengenai virus korona yang bisa mewabah, seorang warga negara Indonesia (WNI) dilaporkan terinfeksi di Singapura. Sudah dua hari WNI dari Wuhan dikarantina di Natuna. Sebanyak 78 WNI yang bekerja di kapal pesiar, Diamond Princess, dikarantina di dalam kapal yang sandar di Pelabuhan Yokohama. Mereka termasuk dari 3.711 penumpang dan kru dari berbagai negara. Tapi, itu pun bukan peringatan.

Baca juga: Apa Isu Utama WNI di Diamond Princess?

Pemerintah Pusat dan DPR sedang sibuk menyegerakan jadwal pembahasan RUU Cipta Tenaga Kerja (Omnibus Law). Jakarta sedang tak karuan akibat banjir, dan kepala daerahnya tengah ngotot dengan rencana balap Formula E. Warganya sedang mengeringkan rumah dari banjir, dan bersiap untuk datangnya demam berdarah.

Kasus Diamond Princess menyulut media membunyikan lonceng bahaya. Bunyi pesannya seperti Eddard Ned Stark (karakter Game of Thrones) mewanti, “winter is coming.”

Sayangnya, otoritas kesehatan lebih gemar menyuburkan polemik. Mungkin tak disengaja. Achmad Yurianto, yang kemudian menjadi Juru Bicara Pemerintah untuk Penangangan Covid-19, lebih suka berbeda pendapat dengan ahli dan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengenai apa dan siapa virus ini. Meski penelitian sendiri belum dilakukan.

Baca juga: Infodemi Mendului Epidemi

Narasi yang dikembangkan oleh pemerintah saat itu ialah, “tenang, tidak perlu panik, Pemerintah bekerja.” Media massa diminta pula untuk tidak mengembangkan kabar yang bisa menimbulkan kepanikan.

Yang sering kita lupa: kabar buruk selalu lebih baik ketimbang tidak ada kabar.

Baca juga: Kita Ngeri Pada yang Tak Dimengerti

Itu sebab, apresiasi harus diberikan kepada jurnalis yang bekerja keras dan tanpa bosan menanyakan kesiapan negara ini menghadapi calon wabah, dan menelusuri petunjuk-petunjuk di lapangan.

Ya, selalu saja ada yang tidak bekerja dengan baik. Sukanya ngebut. Asal cepat. Seolah kecepatan menerbitkan berita adalah pahala tertinggi jurnalisme.

Tapi, apa harus dilumpuhkan?

Belum terlalu lama CNNIndonesia.com dan Detik.com, keduanya dari grup Transmedia, menurunkan berita yang keliru.

CNNIndonesia menulis judul, “Pemerintah Takkan Umumkan Lagi Kasus Positif Covid-19.” Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 memprotes berita tersebut, redaksi CNNIndonesia lalu meralat. Judul berita menjadi, “Pemerintah Ubah Metode Pelaporan ODP-PDP Covid-19.”

Redaktur CNNIndonesia tentu tak punya bahan alasan, karena yang terjadi memang kecerobohan. Sembrono mengabaikan cermat, hati-hati, pemeriksaan ganda, yang menjadi alat sehari-hari jurnalis bekerja.

Hari itu, 18 Mei, Detik.com tidak keliru seperti saudara se-grupnya. Baru delapan hari kemudian, salah satu media daring pertama di Indonesia ini menurunkan judul yang membuat orang marah. Ada yang marah kepada Detik.com, banyak yang marah kepada subyek berita. Judulnya, “Jokowi Pimpin Pembukaan Sejumlah Mal di Bekasi Siang Ini di Tengah Pandemi.” Panjang, Rek.

Ada pula yang skeptis membaca judul itu. “Ya, memang kepala negara sedang menyiapkan ‘normal baru’, dan memang dikenal sering kerja cepat, tapi masak nekat membuka mal?”

Dan sikap skeptis itu betul. Detik.com keliru memperoleh informasi. Judul lalu diubah menjadi, “Pemkot: Jokowi Siang Ini ke Bekasi, Dalam Rangka Pembukaan Mal.”

Menurut Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, itu pun masih keliru juga. “Tolong berita hari ini bukan buka mal. Ini simulasi jika nanti mal sudah bisa dibuka prosesnya seperti ini,” kata Ridwan Kamil di Sumarecon Mal Bekasi, 26 Mei.

Petinggi norak

Bila berita CNNIndonesia yang keliru judul membuat marah orang dan kadung memaki pemerintah melalui layanan WhatsApp, berita Detik.com membahayakan nyawa jurnalisnya. Si jurnalis diancam dibunuh. Identitas pribadi dan rekam dirinya dilacak lewat internet dan disebarluaskan. Sebelumnya, ia dikirimi makanan melalui layanan pesan antar ojek daring. Bertubi-tubi dan harus membayar sendiri.

Aksi terakhir bisa berakibat si jurnalis menguras tabungan. Dan karena kecerobohan ia bisa diberhentikan dari pekerjaan. Paling sial, ia akan masuk dalam daftar penerima bantuan sosial (bansos) bagi warga terdampak Covid-19.

Tapi ancaman dibunuh? Yang sedang dilakukan bukanlah menambah daftar orang miskin baru. Yang dilakukan oleh pelaku teror itu mengancam seluruh jurnalis bekerja secara bebas. Dan selanjutnya, si peneror sedang mencabut hak masyarakat untuk memperoleh informasi.

Kualitas informasi yang buruk selalu dapat diperbaiki. Meski, seringnya koreksi selalu gagal mendamaikan salah persepsi yang acap gigih bertahan dalam pikiran. Tapi teror adalah tindak pidana. Dampaknya sering telanjur dalam, meski tak jadi dikerjakan.

Selalu akan ada direksi, atau petinggi redaksi yang norak, yang lalu memberi “arahan” kepada awaknya, “kawan-kawan tahan diri ya, jangan mengkritik pemerintah dalam soal pandemi.”

Sungguh, kita benar-benar sedang membutuhkan jurnalisme. Pers. Lebih dari sebelumnya. Apalagi mereka pun tengah menghadapi badai yang sama dari segi bisnis. Bila kita pernah patungan membeli alat pelindung diri bagi tenaga medis, yang perlu kita lakukan hari ini adalah berlangganan media secara jangka panjang.

Kita membutuhkan media mengatasi wabah disinformasi yang telah datang lebih dulu sebelum si virus itu sendiri.

Akan ada kekeliruan lagi? Pasti. Kita bisa kritik dan protes seadab-adabnya. Bukan norak dan kejam. []

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.