Dua bulan sebelum Presiden mengganti Terawan Agus Putranto dari jabatan Menteri Kesehatan, ia menyaksikan langsung seremoni penandatanganan nota kerjasama pengembangan vaksin Covid-19 berbasis sel dendritik. Para pihak ialah salah satu perusahaan farmasi yang pernah bermasalah dengan limbahnya, PT Rama Emerald Multi Sukses, dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI. Waktu itu, Kementerian Kesehatan diwakili oleh Kepala Badan Penilitian dan Pengembangan Kesehatan yang baru saja dilantik bulan lalu, Slamet. Sementara dari PT Rama Emerald Multi Sukses diwakili General Manager-nya, Sim Eng Siu.
Lihat juga: Kronologi Vaksin Nusantara
Dalam situs ClinicalTrials.gov milik Kementerian Kesehatan Amerika Serikat, Kementerian Kesehatan RI disebut sebagai sponsor. Dalam keterangannya kepada pers, Slamet tak menyebut pasti berapa jumlah bantuan dana yang diberikan, tapi ia mengaku bahwa Kementrian Kesehatan ikut mendanai penelitian ini.
PT Rama Emerald Multi Sukses mendapatkan lisensi dari salah satu perusahaan Amerika Serikat yang selama ini mengembangkan pengobatan kanker dan kini tengah mengembangkan vaksin Covid-19 berbasis sel dendritik itu, PT AIVITA Biomedical Inc. Kemudian mereka bersama-sama mendirikan PT AIVITA Biomedika Indonesia.
Dalam pengembangan vaksin yang awalnya diberi nama Joglosemar ini, Terawan bertindak sebagai pembina, sedangkan Slamet menjadi penanggung jawab. Anggota tim lainnya datang dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RSUP Dr. Kariadi Semarang, Badan Penilitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia, AIVITA Biomedical Inc, PT AIVITA Biomedika Indonesia, FKKMK (Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan) Universitas Gadja Mada. Belakangan, berdasarkan rilis media yang mereka keluarkan pada 8 Maret, FKKMK UGM menyatakan mengundurkan diri dari tim. Alasannya, mereka sama sekali tak dilibatkan dalam penelitian dan menganggap nama FKKMK UGM telah dicatut.
Empat hari setelah pengunduran FKKMK UGM atau dua hari sesudah rapat kerja Komisi IX DPR terkait vaksin Nusantara, RSUP Dr. Kariadi ikutan mundur. Mereka mengirimkan surat resmi ke Kementerian Kesehatan. Praktis penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi hanya sampai fase pertama.
Alasan RSUP Dr. Kariadi: karena tim peneliti tidak mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk lanjut ke fase dua penelitian. Salah satu yang menjadi sorotan BPOM mengapa tak memberikan izin, selain masalah data dan metode pelaksanaan, ialah komite etik penelitian mestinya berasal dari tempat pelaksanaan penilitian, yakni RSUP Dr. Kariadi. Sebab, mereka inilah yang akan bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan dan keselamatan subjek penelitian. Namun, faktanya komite etik Tim Vaksin Nusantara dari RSPAD Gatot Soebroto Jakarta.
Universitas Diponegoro pun menyatakan posisinya dalam proyek vaksin ini mengikuti RSUP Dr. Kariadi. Meski tak disampaikan secara tegas. Nama Universitas Sebelas Maret juga sempat disebut tergabung dalam tim, namun jika melihat daftar kolaborator di clinicaltrial.gov yang ada cuma Universitas Diponegoro.
Kritik dari “warga waras”
Seperti bunyi peribahasa “dilambai tak nampak, diseru tak dengar”, begitulah kesan yang muncul melihat sikap kelompok pengembang dan pendukung Vaksin Nusantara. Meski tak mendapat izjin, mereka terus melanjutkan tanpa mengindahkan berbagai kriteria yang sudah disampaikan oleh BPOM.
Perjalanan selanjutnya jauh dari kesan saintifik, melainkan penuh intrik politik. Sampai-sampai tagar “Bubarkan BPOM” sempat meramaikan jagat twit.
Berbagai dukungan kepada Terawan datang dari bekas pejabat RI, semisal Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan, Gatot Nurmantyo, dan hampir seluruhnya dari anggota Komisi IX DPR. Mereka berkomentar melalui saluran pers tentang betapa pentingnya Vaksin Nusantara karena merupakan karya “anak bangsa” dan meminta BPOM tak menghalangi dengan kaidah sains. Semangat “nasionalisme” menjadi kata kunci. Tapi publik ikut menyoroti isu “nasionalisme” itu, karena proyek Vaksin Nusantara ternyata buah karya peneliti AS.
Tapi, sorotan publik itu tak digubris. Para pendukung Vaksin Nusantara nekat mendeklarasikan diri sebagai relawan uji klinis tahap dua. Mereka tetap keukeuh mendatangi RSPAD Gatot Subroto pada 14 April, sembari berceloteh di media massa yang mengesankan BPOM memiliki sentimen tersendiri kepada tim peneliti.
“Setelah kami sampai di Kariadi itu didapat gambaran dari peneliti, memang kesan saya antara penliti dan Badan POM ini memang hubungannya itu tidak harmonis komunikasinya. Karena menurut peneliti sudah menyampaikan data informasi yang diminta, menurut Badan POM belum sesuai yang mereka harapkan dan belum memenuhi seperti yang mereka rekomendasikan,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melki Lakalena, dalam diskusi Radio Trijaya, 17 April.
Politikus Partai Golkar itu menuding BPOM bermain politik karena telah mengumpulkan para tokoh untuk mendukung posisi BPOM dalam polemik Vaksin Nusantara ini.
Di hari yang sama diskusi Radio Trijaya, memang ada pernyataan sikap terbuka yang dilakukan secara daring, oleh ratusan tokoh, mulai dari seniman; budayawan; ilmuwan; aktivis; mantan menteri; sampai mantan wakil presiden, yang mendukung sikap BPOM.
Lihat juga: Ahli, Tokoh dan Seniman Mendukung BPOM RI
Mantan komisioner KPK yang menginisiasi dukungan kepada BPOM, Erry Riyana Hardjapamekas, menepis kabar bohong itu. Dengan tegas ia menjawab pertanyaan dari salah seorang wartawan mengenai tudingan tersebut, “saya pikir itu tafsiran yang salah sama sekali, kami tidak meminta izin siapapun, insiatif ini muncul secara alami dalam diskusi kami di dalam WA grup Gerakan Sejuta Antigen. Jadi gak ada hubungannya. Kami tidak minta izin, kami juga tak diminta oleh siapapun. Ini murni kepedulian kami sebagai warga yang waras.”
Kini Vaksin Nusantara masuk ke babak baru. Proyek ini diambil alih oleh TNI-AD setelah penandatangan nota kesepemahaman antara Kemnkes-BPOM RI-TNI AD. Dalam nota kesepahaman dikatakan bahwa uji klinis vaksin Nusantara disetop. Tapi yang membikin bingung ialah penelitian sel dendritik tetap berlangsung di RSPAD Gatot Soebroto.
Sementara itu, jika mengingat perkataan Kepala Pusat Penerangan TNI ketika konferensi pers di Markas Besar TNI, bahwa vaksin Nusantara bukan program TNI, sepertinya mereka tidak satu bahasa?
Apa yang Bisa Dipelajari oleh Pers
Dalam polemik vaksin Nusantara, kita bisa sama-sama menyaksikan dengan terang benderang bagaimana isu ini digiring ke panggung politik. Dari mulanya penelitian sains yang senyap, tahu-tahu muncul ke publik dengan berbagai argumentasi non-saintifik, yang dibawa oleh anggota DPR-RI.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melki Lakalena, dalam setiap kesempatan berbicara tentang penelitian Vaksin Nusantara, dengan ringan ia menuduh BPOM punya sentimen tersendiri kepada tim peneliti vaksin Nusantara dan menuduh BPOM bermain politik. Tentu ini bukan diskusi yang sehat yang dipertontonkan di hadapan publik.
Pers sepertinya harus mengambil sikap kritis terhadap politisi ataupun tokoh publik yang sudah jelas-jelas berbohong untuk tak lagi dijadikan narasumber. Pers sebaiknya membawa perdebatan publik menjadi lebih sehat dan jujur.
Kejujuran mungkin hal yang sangat istimewa tetapi untuk itulah kiranya pers bekerja. Dalam polemik, apalagi yang menyangkut kepentingan masyarakat, ada hal yang tak tersingkap. Pers bekerja untuk itu: menyingkapkan yang terselubung.
Dalam polemik Vaksin Nusantara, banyak informasi yang belum tersentuh, misalnya bagaimana proyek ini masuk. Kenapa politisi dan tokoh publik lain sampai rela menjadi relawan padahal uji klinis vaksinnya belum jelas. Seimpulsif itukah mereka? Adakah bohir di balik itu? Bila ada, siapa dan bagaimana? Kemudian mengenai nota kesepahaman tiga instansi tetang penelitian vaksin Nusantara, bagaimana posisi BPOM dalam penilitian lanjutannya nanti?
Itu yang harusnya muncul ke publik, bukan kutipan sesumbar. []