Bagaimana Melaporkan dan Membicarakan Pandemi Covid-19?

Pneumonia coronavirus

Informasi remang-remang, terlalu banyak rumor, membuat publik tak paham bahaya yang sedang dihadapi. Virus makin menyebar di lingkungan penuh sas-sus.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan pandemi Covid-19, Rabu petang (11/3) waktu Jenewa. Pada saat situasi baru ini diumumkan, ada lebih dari 118 ribu kasus terkonfirmasi di 114 negara, dengan 4.291 jiwa meninggal dunia. Jumlah negara yang terinfeksi meningkat tiga kali lipat selama dua pekan terakhir.

“Pandemi bukanlah istilah yang enteng atau sembrono. Ini adalah istilah yang, jika disalahgunakan, dapat menimbulkan ketakutan yang tidak masuk akal,” ujar Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Pandemi berarti penyakit menjangkit lebih banyak orang di hampir seluruh dunia dalam waktu bersamaan. Pandemi terakhir terjadi pada 2009, saat dunia diserang flu babi yang mengakibatkan ratusan ribu orang meninggal.

WHO meminta agar seluruh negara segera:

  • Mengaktifkan dan meningkatkan mekanisme tanggap darurat;
  • Berkomunikasi dengan masyarakat tentang segala risiko dan menjelaskan bagaimana masyarakat dapat melindungi diri;
  • Menemukan, mengisolasi, menguji dan merawat setiap kasus Covid-19, dan melacak setiap kontak (yang terjadi);
  • Menyiapkan rumah sakit-rumah sakit;
  • Melindungi dan melatih pekerja-pekerja kesehatan.

Menurut Dirjen WHO mengganti kata ‘epidemi’ menjadi ‘pandemi’ tak mengubah perilaku virus. Yang perlu diubah adalah bagaimana negara-negara mengatasinya.

Ini berarti banyak yang harus diperbaiki Indonesia. Oleh pemerintah, media, dan kita—masyarakat.

Hingga kemarin, Indonesia mengonfirmasi 34 kasus positif Covid-19. Seorang pasien meninggal dunia di RSUP Sanglah, Bali. Ia, kasus #25, warga negara Inggris, menjadi kasus kematian pertama di Indonesia. Selain itu, ada dua pasien dinyatakan pulih dan boleh pulang ke rumah.

Ada yang penting dicatat, sebelum maklumat pandemi, Dirjen WHO mengingatkan satu musuh bersama.

“Jujur saja, stigma lebih gawat ketimbang virus itu sendiri,” kata Tedros, 3 Maret lalu.

Anjuran Dirjen WHO terutama bukan kepada publik luas, tapi kepada pemerintah negara-negara anggotanya, dan media massa.

Stigma sosial—dalam kasus ini—berarti orang diberi label, stereotip, mengalami diskriminasi, dirawat terpisah bahkan kehilangan status hanya karena ia memiliki atau berhubungan dengan suatu penyakit. Pemberian atau perlakuan itu termasuk dilakukan kepada mereka yang memiliki hubungan atau berbagi karakter tertentu, semisal SARA, dengan si pasien.

Kita paham akan satu hal, Covid-19 adalah penyakit yang belum dikenali benar.

Penelitian yang dipublikasi dalam jurnal Annals of Internal Medicine, dua hari lalu, mengungkapkan temuan yang memperkirakan masa inkubasi median dari SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, adalah 5,1 hari. Temuan ini mengonfirmasi keputusan masa karantina selama 14 hari yang direkomendasikan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (US CDC). Banyak ahli virologi mulai mengetahui jenis virus ini, ada di mana ia berinang, bagaimana ia berkembang, tapi masih banyak sekali yang misterius.

Pada hal yang belum diketahui, orang sering takut. Karena rasa takut pada yang tak nampak itu konyol, orang memilih mengaitkan dengan ‘yang dianggap’ menjadi sumber ketakutan mereka. Ekspresi itu menghadirkan stigma.

Menurut pantauan WHO, wabah Covid-19 saat ini telah memicu stigma sosial terhadap mereka yang dianggap berkontak dengan virus, dan orang-orang dari latar etnis tertentu.

Hari Senin (10/3) kemarin, Juru Bicara Menteri Luar Negeri Tiongkok, Geng Shuang, memprotes penggunaan istilah “Virus Korona Wuhan” yang digunakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo.

Survey yang dirilis Statista menunjukkan hampir 60-an persen publik Inggris dan Italia percaya bahwa virus korona-baru adalah ancaman bagi kesehatan masyarakat.

Dalam berbagai operasi kemanusiaan, stigma sosial jadi batu sandung yang menyulitkan upaya penyelamatan. Stigma dapat merusak kohesi sosial dan mendorong terjadinya isolasi terhadap suatu kelompok. Mereka dituding berkontribusi membuat virus lebih banyak dan menyebar. Akibatnya, orang cenderung menyembunyikan penyakit untuk menghindari diskriminasi. Mereka tidak berupaya mencari perawatan segera dan mengadopsi perilaku sehat.

Di berbagai tempat, ‘infodemi’ mendului munculnya epidemi. Ketimbang virus, sebaran informasi yang mengundang ketakutan lebih awal datang. Ini masih ditambah berbagai teori konspirasi (berikut sas sus besar atau kecil), dan akhirnya memunculkan anti-empati.

Sebelum Presiden mengumumkan kasus positif, 2 Maret, stigma terhadap yang dianggap “sumber” virus menyebar di udara. Meme diproduksi dengan kata-kata seperti: China (atau Cina) sumbernya, pemakan babi, pemakan kelelawar, azab Allah (maka dikirimkan tentara-Nya), Melayu kebal virus; apa lagi?

Teori konspirasi, rumor, sas sus: Simak saja video yang dinarasikan penceramah motivasi cum pengamat terorisme cum ahli ekspresi mikro plus praktisi mata uang kripto, yang beredar jauh sebelum pengumuman mengenai pasien korona-baru di Indonesia. Ada pula yang terakhir dari praktisi bitcoin. Nama teorinya: China Winter.

Anti-empati: Aksi borong masker, cairan sanitasi tangan, dan multivitamin, oleh orang-orang sehat memperlihatkan kita tak peduli bila barang itu habis di pasar, dan mereka yang betul-betul membutuhkan tak kebagian.

Sebelum ke halaman berikut, percayai satu hal: meme tidak membunuh virus.

Selanjutnya: Bagaimana sebaiknya media melaporkan pandemic Covid-19?

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.