Hari terakhir di bulan Mei, pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mempersilakan kepada 102 daerah, termasuk empat provinsi, untuk mulai menerapkan status normal baru. Pemerintah Daerah (Pemda) diminta merujuk kajian epidemiologi dan kesiapan perangkat kesehatan di daerah masing-masing. Dari segi kajian epidemiologi, laju persebaran Covid-19 di daerah itu harus turun hingga 50 persen dari puncak kasus selama tiga pekan berturut-turut; kasus positif turun 5 persen; dan kesiapan fasilitas layanan kesehatan.
Baca juga: Normal Baru Dimulai, Grak!
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memberi pertimbangan kepada negara-negara yang ingin membuka karantina wilayahnya atau beradaptasi dengan normal baru. Indonesia tidak menerapkan karantina wilayah, namun pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sama ketatnya. Salah satu rekomendasi WHO adalah merujuk perhitungan effective reproduction number atau angka reproduksi efektif rt).
Angka reproduksi menjadi acuan untuk melihat kemampuan virus SARS-CoV-2 secara aktual dalam menginfeksi atau menyebar. Semula, angka reproduksi SARS-CoV-2 adalah tiga. Artinya, bila satu orang terinfeksi virus, maka ia bisa menularkan kepada tiga orang. Namun perkiraan angka itu masih beragam. Justru dari situlah, semua negara berupaya menekan angka ini sebisa mungkin kurang dari satu.
Jika angkanya di bawah satu, kemungkinan si virus menginfeksi orang lain semakin kecil atau tidak sama sekali. Sederhananya, satu orang tak lagi menularkan virus ke orang lain. Itu pun, menurut pertimbangan WHO, pemerintah harus menghitung konsistensi angkanya dalam kurun minimal dua minggu.
Puncak-puncak Jakarta
Sebelum PSBB transisi (terma bikinan Pemda DKI Jakarta untuk status normal baru), puncak kasus positif Covid-19 tertinggi di Jakarta pada tanggal 16 April, mencapai 223 kasus. (Dalam data Gugus Tugas, pada hari itu di Jakarta ada 185 kasus diumumkan terkonfirmasi). Lihat Peta Sebaran Covid-19

Sekadar catatan, data yang dihimpun secara harian oleh Spektator.id bersumber dari Kementerian Kesehatan RI, pada tanggal 16 April itu adalah 196 kasus. Angka tertinggi pada bulan itu terjadi pada 9 April, yakni 236 kasus.

Setelah kasus tertinggi, bagaimana persentase rata-rata kasusnya? Untuk menghitungnya, kita pinjam bantuan rumus matematika sederhana: nilai rata-rata jumlah kasus dalam sepekan dikalikan seratus dan dibagi dengan jumlah kasus tertinggi sebelum PSBB transisi. Pekan pertama setelah puncak kasus tersebut menunjukkan angka rata-rata 119, dengan persentase dari kasus tertinggi 53,4 persen; pekan kedua angka rata-ratanya 90, dengan persentase 40,4 persen; pekan ketiga di angka 91, dengan persentase 41 persen. Tiga pekan itu mulai dari tanggal 17 April sampai 7 Mei.
Jika prasyarat pertama yang disebutkan di atas harus turun 50 persen, dalam tiga pekan berturut-turut dari puncak kasus, Jakarta masih cenderung fluktuatif.
Karena masih ada empat minggu lagi menuju akhir PSBB transisi pada 5 Juni, supaya tetap terasa aktual, tak mengapa untuk mencoba menghitung lagi tiga pekan sebelum PSBB transisi. Angka rujukan kita masih sama: 223. Tanggalnya mulai dari 15 Mei sampai 4 Juni. Pada pekan pertama, angka rata-ratanya 86 kasus, dengan persentase dibulatkan menjadi 39 persen. Pekan kedua, rata-ratanya naik menjadi 101 kasus dengan persentase 45 persen. Pekan terahir, jika dirata-ratakan menjadi 96 kasus, dengan persentase 43 persen.
Sementara itu, angka reproduksi efektif Jakarta berada di 0,99 (hitungan tanggal 3 Juni). Untuk fasilitas kesehatan, diakui oleh Gubernur Anies Baswedan, kalau kesiapannya sudah sampai ke tingkat Puskesmas Kelurahan. Karena itu, dan melihat persentase rata-rata di atas, Pemerintah Jakarta cukup percaya diri untuk menerapkan PSBB transisi.
Namun, Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, kepada Tempo.co mengatakan kalau masa transisi justru malah membawa Jakarta kembali ke puncak kasus. Dalam sepekan pelaksanaan PSBB transisi saja, Jakarta langsung menyumbang kasus positif sebanyak 944.
Pekan ini menorehkan pekan yang paling terbanyak jumlah kasusnya di Jakarta, sampai sekarang. Pada 9 Juni sebanyak 234 kasus. Tentu, hari-hari menjinakkan virus akan bertambah. Tak hanya itu, prediksi puncak kasus akan semakin panjang.
Baca juga: Kapan dan Bagaimana Kasus di Indonesia Melandai?
Pernah Istitut Pertanian Bogor (IPB) memprediksi puncak kasus di Jakarta itu terjadi pada 28 April 2020 dengan jumlah individu yang terinfeksi sebesar satu juta delapan ratus. Mereka memprediksinya pada bulan Maret. Lalu akhir April, Ketua Satuan Gugus Tugas sempat mengatakan, puncak pandemi untuk Indonesia ada di bulan Mei. Tapi sekarang, sudah masuk bulan Juni, dan tengah beradaptasi dengan normal baru. Pertambahan kasusnya justru malah mengkhawatirkan.
Kebiasan baru di Jabar
Di Jawa Barat, yang juga dipersilakan menerapkan normal baru, kasus tertinggi sebelumnya pada 4 Mei, sebanyak 187–merujuk data yang terkompilasi di situs Gugus Tugas Nasional. Persentase rata-rata jumlah kasus dalam tiga pekan berturut-turut yakni, 18 persen; 14 persen; dan 33 persen.
Lonjakan kedua hanya terjadi pada tanggal 20 Mei, sebanyak 168 kasus. Seterusnya sampai tanggal 4 Juni, rata-rata kasus di Jawa Barat sebanyak 30 kasus. Pada tanggal yang sama, Bogor, Depok, dan Bekasi memulai adaptasinya dengan kebiasaan baru. Daerah lain menyusul pada tanggal 12.
Sampai Selasa minggu lalu, pemerintah Jawa Barat fokus menangani fasilitas di 54 desa. Desa-desa itu memiliki catatan lebih dari enam kasus Covid-19. Kalau angka reproduksi efektif Jawa Barat sampai dengan 2 Juni, berada di 0,67. Dari situ, Jawa Barat juga lebih percaya diri untuk beradaptasi dengan kenormalan baru.
Jika beralih ke skala nasional, kemarin ada 1.014 kasus, sehari sebelumnya 1.111 kasus, atau tertinggi kedua dari angka yang diumumkan 10 Juni, yakni 1.241 kasus. Jika melihat grafiknya sejak memasuki bulan Juni–dengan kampanye adaptasi ke normal baru amat gencar–praktis menaik tajam. Dari empat ratus sampai seribu kasus.
Tri Yunis Miko Wahyono meyakini angka reproduksi bakalan naik. Melihat jumlah kasus harian menyentuh lebih dari seratus. Dia menyarankan kepada pemerintah, untuk melirik kembali pada peluang pengetatan PSBB.
Hal yang mengkhawatirkan lainnya, bukan suudzon, ada di Indonesia bagian timur–tepatnya di Makassar. Sebelum mendapat restu dari Gugus Tugas untuk beradaptasi dengan normal baru, pusat belanja di sana sudah buka. Siul-siul normal baru mulai memanaskan orang untuk bepergian–di luar mereka yang memang harus bekerja. Juga pemerintahnya, mungkin tak sabar menanti kehidupan “normal baru”. []