Saya baru tiba sebulan lebih seminggu, ketika suatu operasi besar-besaran merespons Ebola dimulai di Sierra Leone Bagian Barat, 17 Desember 2014. Bersandi Western Area Surge (WAS), operasi ini digelar Misi PBB untuk Tanggap Darurat Ebola (United Nations Mission for Ebola Emergency Response/UNMEER), pemerintah Sierra Leone dan seluruh organisasi kemanusiaan yang bekerja di sana.
Sebenarnya angka kasus terkonfirmasi Ebola hari-hari itu cenderung turun. Dibanding pekan sebelumnya yang hampir mencapai 600 kasus, per 14 Desember ‘hanya’ 400-an kasus baru. Paling tinggi justru pada 30 November: lebih dari 700 kasus.
Sierra Leone negara kecil. Luasnya hanya dua kali Provinsi Jawa Barat, tetapi penduduknya jauh lebih sedikit, sekitar 7 juta jiwa. Bandingkan dengan Jawa Barat yang lebih dari 48 juta jiwa. Sierra Leone Bagian Barat atau dikenal juga dengan sebutan Semenanjung Freetown—ibukota berada di sini—menjadi rumah bagi 1,4 juta jiwa di area seluas 557 km persegi. Padat. Kampung-kampung urban berjejal, jalanan penuh orang yang rata-rata berdagang. Termasuk penjaja VCD bajakan dari film-film Hollywood, Nigeria, dan Asia. Saya menemukan The Raid yang oleh penjual disebut, “Filipino Movie.”
Anda mungkin mengenali lanskap negara ini lewat film Blood Diamond (2006). Meski pengambilan gambar seluruhnya berlokasi di Afrika Selatan dan Mozambik, gambaran Sierra Leone nyaris sama. Pantainya yang bersih, bangunan-bangunan seperti berkarat, semak belukar, rumah-rumah berdinding lempung di pedesaan, dan sawah tadah hujan.
Mengapa angka kasus menurun malah diadakan operasi surge?
Sebab, kasus tak terdeteksi dan tak dilaporkan lebih tinggi dari kenyataan statistik. Maka, tanggap besar-besaran diperlukan untuk menemukan kasus, menyediakan tempat-tempat tidur di fasilitas pemulihan, mengisolasi pasien potensial, menerapkan protokol karantina, memperbanyak tim pemakaman aman dan bermartabat (safe and dignified burial), serta mobilisasi sosial.
Kurang dari sepekan, hampir 700 kasus ditemukan. Kelak, Sierra Leone mencatat sebagai wilayah terbanyak kasus Ebola, yakni 14.124 kasus. Disusul tetangganya, Liberia (10.678 kasus) dan Guinea (3.817 kasus). Epidemi Ebola merenggut nyawa 3.956 jiwa penduduk negara itu.
Sepanjang operasi Ebola, sejak pengumuman keadaan darurat di Kabupaten Kailahun, 12 Juni 2014, lazim didapati rumah-rumah dipagari garis aman. Mereka dikarantina selama 21 hari—masa inkubasi virus Ebola. Tidak hanya rumah-rumah, desa/kelurahan juga dikarantina. Bila ini terjadi, batas desa/kelurahan dijaga oleh militer. Tak jarang satu kabupaten ditutup (lockdown). Minimal selama 21 hari, tak ada rumah makan, bar, dan kafe buka. Pergerakan orang terbatas. Hanya kendaraan tim reaksi, militer, pemerintah dan organisasi kemanusiaan yang bisa bergerak. Gereja tak menyelenggarakan misa, salat Jumat ditiadakan. Ini negara dengan 78 persen penduduk beragama Islam. Suni, Syiah, Ahmaddiyah, Jamaah Tabligh, tinggal bersama.
Beranjak dari satu desa/kelurahan ke desa/kelurahan lain, Anda akan menemui pos-pos pemeriksaan suhu tubuh (checkpoints). Tanki-tanki air, keran, dan ember penampung air tumpahan cuci tangan berjejer di titik periksa. Saban masuk ke rumah atau kantor, Anda harus mencuci tangan. Ada petugas di depan pintu gedung yang akan menembak dahi Anda dengan pengukur temperatur badan.
Sekolah ditutup. Mayoritas wilayah tak memiliki koneksi internet, dan jaringan buruk sekali. Materi pendidikan sekolah diajarkan lewat siaran radio. Pesawat radionya, dibagikan oleh palang merah dan organisasi kemanusiaan lain. Peringatan-peringatan dan pengumuman disampaikan lewat radio, televisi nasional dan pesan singkat telepon genggam.
Orang dilarang bersentuhan. Tak ada salaman. Tangan kanan disilang ke dada kiri menjadi pengganti salaman. Tak ada seks. Meski kelak, Dana Penduduk PBB (UNFPA) melaporkan 14 ribu siswi hamil selama wabah Ebola.
Meme tak menahan virus
Dalam perang melawan virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit Covid-19, Italia lockdown, Metro Manila lockdown, Denmark lockdown. Iran pun lockdown. Paling pertama, tentu Wuhan di Hubei, RRT, yang lockdown. Festival Imlek mereka lalui dari rumah masing-masing. Tak ada keriaan di jalan-jalan seperti biasanya menyambut datang musim semi.
Walikota New York, Bill de Blasio, kemarin (16/3), memerintahkan restauran, kafe dan bar, hanya melayani beli bungkus dan pesan antar. Tak boleh makan di tempat. Sekolah-sekolah sudah ditutup.
Apakah Indonesia mengenal istilah lockdown sebagai cara mengurangi penyebaran penyebab penyakit menular?
Dalam bahasa populer, tentu, dan sudah dilakukan.
Sekolah-sekolah di Jakarta lockdown, sejak Senin hingga dua pekan ke depan. Kebijakan serupa dikeluarkan Gubernur Jawa Barat dan Jawa Tengah. Walikota Malang juga menutup sekolah, tempat hiburan dan destinasi wisata. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, awal pekan mengumumkan menutup 55 tempat hiburan dan destinasi wisata di Kota Surakarta, Kabupaten Wonogiri, Sragen, Klaten, Karanganyar, Boyolali, Kota dan Kabupaten Semarang, Kota dan Kabupaten Magelang, Banyumas, Temanggung, Blora, dan Kota Tegal, terhitung sejak 17 Maret.
Apakah kepala-kepala daerah itu berwenang dengan penetapannya? Mereka berwenang menetapkan dan merespons keadaan luar biasa di wilayah masing-masing. Sesuai laporan epidemiologi dan analisis risiko yang telah dilakukan. Catatan: ada koordinasi dengan pemerintah pusat.
Tapi, pro-kontra di media sosial memang sering lepas dari definisi resmi, lepas konteks dan ruang. Lebih seringnya berlatar politik ketimbang isu aslinya: darurat kesehatan masyarakat (public health emergency). Lockdown cenderung dimaknai menutup kota, provinsi, pulau dan negara. Pemengaruh dan pendengung media sosial sering lupa: meme tak menahan laju virus.
Acuan tepat mestinya UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ada empat pembatasan yang diatur oleh UU tersebut:
- Karantina rumah
- Karantina rumah sakit
- Karantina wilayah, dan
- Pembatasan sosial berskala besar
Dalam UU ini, pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat melalui penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan (pasal 4).
UU Kekarantinaan Kesehatan memberi mandat kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah dalam tiap jenis dan tahap karantina. Pusat komando ada di tangan Menteri Kesehatan. Tapi, dalam kasus penanganan Covid-19, Presiden telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Jadi, koordinasi dan konsultasi untuk tiap kebijakan pemerintah daerah dilakukan dengan Ketua Pelaksana Gugus Tugas, Doni Monardo.
Lockdown yang dibahas dalam beberapa hari terakhir di media sosial, hingga media resmi ikutan mengutip, ialah karantina wilayah. Maksudnya, pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi (pasal 1 angka 10). Bersama-sama pembatasan sosial berskala besar, karantina wilayah ditetapkan oleh Menteri (pasal 49 ayat 3). Tapi, sekali lagi, Presiden sudah menetapkan suatu Gugus Tugas.
Dan sayangnya, ketentuan pelaksanaan yang mestinya diatur lewat Peraturan Pemerintah, sejak UU ini ditandatangani 7 Agustus 2018, belum diterbitkan.
Penetapan karantina wilayah hanya bisa dilakukan bila ada konfirmasi laboratorium mengenai epidemi di suatu wilayah (pasal 53 ayat 2). Kelak polisi dilibatkan untuk menjaga wilayah karantina (pasal 54 ayat 2).
Bagian ini mungkin perlu jadi perhatian: selama karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait (pasal 55).
Bukan pilihan
Lalu, apa harus kita lakukan? Karantina wilayah sesegera mungkin, memperbanyak titik-titik periksa, atau tanggap besar di suatu wilayah?
Dalam operasi menangani wabah, lockdown, checkpoints dan surge, bukan pilihan. Luas area operasi yang pilihan.
Sekarang, penting mencari kasus baru (case finding) selain melakukan pelacakan kontak dari kasus yang telah terkonfirmasi (contact tracing). Deteksi masal pasti kerja berat, tapi mau-tak-mau harus dilakukan. Mungkin kapasitas operasi pemerintah saat ini belum memadai benar untuk itu, maka memperbanyak titik periksa perlu jadi prioritas.
Suhu tubuh orang dicek bukan hanya di bandara, pelabuhan, halte bus, depan kantor atau mal. Pemeriksaan suhu tubuh perlu diperluas di beberapa batas wilayah, desa/kelurahan atau kecamatan. Data penyebaran virus berdasarkan temuan kasus kini telah memadai. Setidaknya bisa berangkat dari wilayah-wilayah itu sembari menyiapkan tenaga, pendeteksi suhu, dan logistik lain untuk memperlebar wilayah deteksi.
Kita memang telah menghabiskan waktu 1,5 bulan untuk membantah dan menyepelekan wabah yang terjadi secara global, hingga muncul kasus 2 Maret lalu, namun ya sudahlah. Perbaikan agaknya sedang dilakukan, dan semoga itu meliputi perluasan kapasitas penanganan: tim reaksi cepat, penambahan tenaga medis, penyediaan ruang isolasi, perbanyak tempat tidur di fasilitas perawatan, laboratorium, ambulans, kemampuan engagement, melengkapi perangkat untuk menjalankan protokol karantina, pelatihan dan penyiapan tim pemakaman aman dan bermartabat, serta transparansi komunikasi.
Sierra Leone pernah dikenal dan kenang sebagai tempat berdarah akibat perang saudara (1991-2002). Permusuhan politik antar-elit dan antar-komunitas saat wabah Ebola juga runcing. Mereka pernah pula menjadi simbol kategori negara gagal (failed state). Tingkat korupsi di negara itu tinggi, dana operasi Ebola pun dikorupsi.
Belajar dari perubahan situasi di sana, penanganan wabah adalah operasi bersama yang didasari semangat solidaritas. WHO menggarisbawahi pula semangat ini. Syarat paling penting hari-hari ini buat kita, di luar cocomeo usul atau tolak lockdown, adalah menghentikan permusuhan yang baunya masih terasa meski pemilu sudah lama berakhir. Pemengaruh dan pendengung sudah waktunya untuk lebih kreatif dan berpengetahuan bila ingin memelihara eksistensi diri. []