“Mungkin presiden melihat untuk lebih cepat, lebih efektif saya ditugasin,” kata Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dalam acara Mata Najwa, 23 September 2020. Ia menjelaskan alasan mengapa diberi tugas khusus oleh Presiden untuk menekan pertumbuhan pandemi Covid-19 yang terus meningkat di sembilan provinsi di Indonesia saat ini. Ia mencotohkan, kalau penunjukkan itu adalah wajar dan biasa saja terjadi, sama halnya dalam suatu operasi militer, bahwa pimpinan bisa dengan tiba-tiba memberikan satu misi khusus kepada pasukannya.
Dan lagi, alasan penunjukan itu, diakuinya karena ia dinilai memiliki kemampuan manajerial yang baik dan menyelesaikan segala tugas yang diberikan oleh Presiden dengan baik. Kalau dalam bahasa Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian, Menko Maritim dan Investasi (Marves) bisa dipercaya Presiden karena mampu mengeksekusi segala yang diperintahkan. Apalagi tugas Menko Marves itu akan mengkoordinasikan, bukan hanya Kementrian Kesehatan, tetapi juga kepada Kodam, Polri, dan Satgas Covid-19.
Saat ini, Luhut juga adalah Wakil Ketua I Komite Kebijakan di Komite Penanganan Coronavirus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) yang diketuai oleh Airlangga Hartarto. Dengan kehadiran KPC PEN, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dikepalai oleh Doni Monardo, telah dilebur ke dalamnya.
Luhut akan bersama-sama dengan Doni Monardo dalam mengupayakan penurunan jumlah kasus harian, peningkatan pasien sembuh, dan menurunkan angka kematian di sembilan provinsi itu, yakni: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Papua, dan Bali.
Luhut mengatakan kalau ada tiga strategi penanganan yang akan mereka jalankan: satu, penanganan rumah sakit; kedua, penanganan karantina; dan ketiga, penanganan masyarakat (atau dalam bahasa Luhut adalah penanganan di hulu, mengenai peningkatan kesadaran masyarakat terhadap virus korona).
Presiden menargetkan kepada tim khusus ini bisa menekan laju penyebaran dalam waktu dua minggu ke depan sejak tim tersebut diumumkan pada 15 September lalu.
“Kita ini optimis, tapi optimis yang terukur,” tekan Luhut di acara Mata Najwa malam itu.
Dua Pekan Kemudian
Secara nasional pertumbuhan kasus baru per hari dalam kurun dua minggu – sampai hari ini, masih konsisten di angka 3.000 sampai 4.000. Bahkan dalam enam hari berturut-turut, jumlah kasus konsisten di atas 4.000. Dan rekor baru kasus harian selama pandemi Covid-19 berlangsung di Indonesia, tercatat pada tanggal 25 September dengan total kasus 4.823. Begitu juga dengan kasus meninggal harian, paling tertinggi tercatat pada tanggal 22 September dengan total 160 jiwa orang. Jumlah pasien sembuh cukup baik, selama dua pekan dari 16 sampai 30 September mencapai 53.882 kasus.
Dua minggu sepertinya waktu yang terlalu cepat, terlalu optimis, untuk menekan laju kasus Covid-19. Apalagi untuk melihat perkembangannya tak lain dengan seberapa banyak tes yang bisa dilakukan pemerintah. Sampai hari ini, pemerintah Indonesia baru bisa mencapai 188.689 dalam satu pekan. Angka itu masih jauh dari batas ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 1 per 1.000 orang tiap pekan, yang berarti untuk Indonesia harus bisa melakukan tes sebanyak 267 ribu per pekan. Sehingga idelanya, tes yang dilakukan sebanyak 38.143 tes per hari. Sementara kalau merujuk angka di atas, rata-rata tes harian yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia baru sebanyak 26.956 orang atau setara dengan 70,76 persen dari jumlah tes minimal.
Dalam laman Infeksi Emerging oleh Kementrian Kesehatan, pemeriksaan yang dilakukan pemerintah baru mencapai 2.023.990, sedangkan penduduk Indonesia adalah 270 juta. Berdasarkan data Worldmeters yang dikutip oleh Kompas.com, Indonesia baru melakukan 11.948 tes per 1 juta penduduk, dan itu menempatkannya pada peringkat 157 dari 215 negara dalam hal jumlah tes Covid-19.
Untuk kasus aktif, saat ini ada sebanyak 61.831 atau 21,2 persen dari total kasus terkonfirmasi. Tadinya terjadi kekeliruan perhitungan, angka kasus aktif yang muncul di laman tersebut 72.694 – hanya mengurangi total kasus terkonfirmasi dengan total kasus sembuh, tanpa mengurangi kasus meninggal. Seorang ekonom, Faisal Basri sempat melakukan tangkapan layar terhadap kekeliruan itu dan mengunggah ke akun twitter-nya.
Sejauh angka-angka tersebut, yang perlu diperhatikan juga adalah angka positivity rate – persentase dari angka terkonfirmasi positif dibanding jumlah spesimen yang diperiksa secara nasional – maka didapatkan sebesar 14,3 persen. Masih jauh dari standar aman oleh WHO, yaitu 5 persen.
Dua Pekan di Sembilan Provinsi
DKI Jakarta adalah episentrum kasus Covid-19 di Indonesia. 25,7 persennya atau 73.736 kasus ada di sana. Dalam dua pekan ini, dari tangga 16 sampai 29 September, rata-rata kasus harian bertambah sebanyak 1.251 kasus. Yang sembuh cukup baik, dalam dua pekan itu rata-rata per hari bertambah 1.033 kasus. Sementara yang meninggal jika dirata-ratakan dalam dua pekan sebanyak 19 jiwa per hari.
Ada dua provinsi yang mengalami peningkatan kasus meninggal jika dibandingkan dari pekan pertama dan kedua, yakni: Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Di Jawa Barat kenaikannya dua kali lipat, sementara di Kalimantan Selatan bertambah 7 orang. Namun kematian yang terkonfirmasi karena virus korona dalam dua pekan ini paling banyak terjadi di Jawa Timur, melampaui angka kematian di DKI Jakarta. Meski begitu, Jawa Timur berhasil menurunkan kasus kematian dan kasus terkonfirmasi dari pekan pertama ke pekan kedua.
Kalimantan Selatan, Bali, dan Papua adalah tiga provinsi yang kasus terkonfirmasinya belum mencapai seribu. Jarak antara angka terkonfirmasi dan sembuhnya tiap pekan juga tidak terlampau jauh – tidak melebihi dua ratus. Justru Kalimantan Selatan, dari pekan pertama ke pekan kedua, angka terkonfirmasinya turun cukup jauh dari delapan ratus ke lima ratus.
Terlambatnya ketersediaan data juga masih terjadi, saat mengunjungi laman covid19.go.id pada tanggal 30 September, data Provinsi Papua untuk tanggal 29 September belum tersedia, sementara delapan provinsi yang lain sudah, alhasil ketika mengunjungi laman itu kembali hari ini, data yang masuk untuk tanggal 29 September adalah nol.
Di bawah ini adalah tabel dari sembilan provinsi tersebut. Tanggalnya dimulai dari 16 September atau sehari setelah tim khusus diumumkan oleh pemerintah. Tanggal itu diambil dengan asumsi bahwa penanganannya baru berpengaruh hari besok.
Tak Ada Ahli di Bidangnya
hampir tidak ada pejabat ataupun politisi Indonesia terkemuka yang memilki latar belakang sains, utamanya yang bertanggung jawab atas penanganan Covid-19. Nama yang selalu ramai diperbincangkan seperti Luhut Binsar Panjaitan adalah lulusan Akabri Magelang angkatan 70. Jabatan teritorial tertingginya mentok sebagai Komandan Korem Madiun 081/Dhirotsaha Jaya pada 1995, sementara di korps baret merah atau Kopassus dia hanya pernah menjadi Komandan Grup 3 Sandi Yudha dan Komandan Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus). Pada 1981 Luhut mendirikan Detasemen 81 Anti Teroris Kopassus dan menjadi komandan di sana, wakilnya ialah Kapten Prabowo Subianto.
Luhut memang salah satu perwira yang cemerlang dan dikenal sebagai loyalis Benny Moerdani. Di era Habibie, ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Singapura; menjadi Menteri Perindustrian di era Gus Dur; dan sekarang sebagai Menko Maritim dan Investasi. Kalau dalam situasi darurat militer ataupun perang, dia pasti sudah terlatih seperti tahun 1975 saat merebut Dili. Tetapi dalam situasi darurat karena wabah, dia belum. Sebagai TNI dia hanya akrab dengan doktrin: kerjakan atau selesaikan. Bukan test, trace, treat – sebagaimana wabah ditangani.
Bagimana dengan partner Luhut dalam menangani sembilan provinsi prioritas, Doni Monardo? Karirnya bermula sejak tahun 1986 sampai 1998 ketika bergabung dengan kesatuan pasukan elit Kopassus. Bisa dibilang karir Doni dalam militer cukup cepat dan menempati berbagai posisi strategis dalam waktu yang cepat juga. Era SBY, sempat menjadi Komandan Grup A Paspampres sampai Komandan Paspampres pada 2012 sampai 2014.
Setahun berikutnya, 2014 sampai 2015 ia ditugaskan sebagai Komandan Jenderal Kopassus. Jabatan militernya berakhir sebagai Pangdam di dua tempat: Pangdam XVI/Patimura Kota Ambon periode 2015-2017 dan Pangdam III/Siliwangi Kota Bandung periode 2017-2018. Situasi darurat yang dihadapi Doni ketika kerusuhan di Timor-Timur dan DOM Aceh. Awal tahun 2019 ia baru menjabat sebagai Kepala BNPB. Ketika wabah korona melanda Indonesia, ia ditugaskan mengepalai Satgas Covid-19.
Satu orang lain yang bertanggung jawab untuk menangangi wabah korona adalah Terawan Agus Putranto, sebagai Menteri Kesehatan. Awal-awal wabah ia melakukan aksi heroik kala menjemput Anak Buah Kapal yang dikarantina di Kapal Pesiar Diamond Princess di Yokohama, Jepang. Itu saat-saat di mana Menteri Terawan mau muncul di depan publik dan berkomentar kepada media. Tapi kini, sejak terakir kalinya ia muncul pada 28 Maret lalu ketika menerima bantuan alat kesehatan dari Sinar Mas dan Indonesian Chamber of Commerce in China (Inacham) di Jakarta, Terawan tak pernah terlihat oleh publik lagi.
Dalam acara Mata Najwa, Luhut mengatakan kalau baru-baru saja Terawan muncul di depan petinggi TNI-Polri dan kepala daerah dalam rangka menyinergikan penanganan Covid-19. Luhut juga bilang, tapi tidak yakin dengan perkataannya, Terawan termasuk orang yang tidak suka bicara di depan publik. Dia bilang, mereka bertiga: Luhut, Doni dan Terawan, masih terus berkomunikasi dalam penanganan covid-19.
Terawan adalah lulusan kedokteran UGM, pada 1990 mulai menjadi dokter tentara dan menjadi kepala Rumah Sakit Angkatan Darat sejak 2015. Ia dikenal sebagai dokter spesialis radiologi. Menjadi kontroversi karena melakukan terapi Digital Substraction Angogram (DSA) atau cuci otak untuk pengobatan stroke. Terapi tersebut menurut PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) belum menjalani uji klinis sehingga dari hal itu Terawan dinilai melanggar kode etik IDI. Ia pensiun dari TNI saat dilantik menjadi Menteri.
Ketiga orang ini yang diberi tanggung jawab oleh Presiden untuk menangani wabah. Ketiganya tentara, satu diantaranya adalah dokter tentara. Namun tetap saja ketiganya sangat minim soal keadaan darurat karena wabah. Kalau darurat perang, ketiganya mungkin pas.
Dalam wabah, setiap orang memang sedang belajar, meskipun itu saintis. Namun, kita tentu sadar siapa orang yang paling tepat ditanyai untuk mengatasi wabah? Tentu tidak kepada tentara apalagi politisi.
Sains memang tentang ketidakpastian dan mengurangi ketidakpastian itu. Karenanya, ketidakpastian dalam wabah korona patutnya kita andalkan kepada, katakanlah epidemiolog ataupun pakar kesehatan publik untuk menjawabnya. Siapa lagi yang ahli di bidang ini? []