Kalau melihat media sosial, juga grup Whatsapp, banyak beredar foto-foto permukiman yang sudah melakukan “lockdown“. Beberapa membuat pengumuman jadi lucu: “Jalan Ini Sedang di Download”. Ada juga menulis “Menerapkan Slowdown”. Paling epik, lockdown ditulis “lock dont”.
Namun yang menggemaskan bukan meme-meme lucu lockdown itu, tapi fakta masih banyak orang yang nongkrong ria di portal-an, alias di mulut jalan atau gang yang diberi portal.
Kalau melihat media sosial, juga grup Whatsapp, banyak beredar foto-foto permukiman yang sudah melakukan “lockdown“. Beberapa membuat pengumuman jadi lucu: “Jalan Ini Sedang di Download”. Ada juga menulis “Menerapkan Slowdown”. Paling epik, lockdown ditulis “lock dont”. Namun yang menggemaskan bukan meme-meme lucu lockdown itu, tapi fakta masih banyak orang yang nongkrong ria di portal-an, alias di mulut jalan atau gang yang diberi portal.
Di Jakarta, awal April, beberapa permukiman sudah “melakukan lockdown“. Salah satunya di Salemba Bluntas 1. Akses yang menghubungkan Jalan Salemba Raya dan Jalan Salemba Tengah. Warga menutup akses masuk dan keluar gang di sekitarnya dengan kursi dan palang dengan bambu atau balok kayu. Di tempat lain ada yang beralasan, mereka melakukan “lockdown” sebagai protes terhadap Pemerintah Pusat yang lamban mengambil keputusan.
Walau “lockdown“, suasana di Salemba Bluntas 1 masih ramai. Gerobak sayur masih dikerubungi pelanggan, tetangga ngobrol di tengah jalan, dan–ini dia–orang nongkrog di depan portal.
Seminggu setelahnya, hampir seluruh permukiman di Jakarta aksesnya diportal. Kata salah seorang Satpam RW 9 di Kelurahan Johar Baru, mereka bisa ditegur Satpol PP kalau kompleks tidak diportal. “Yang penting terkunci dulu,” begitu sang satpam mengira-ngira kalau sudah bisa mencegah Covid-19 masuk kompleks.
Di depan gardu-gardu itu masih ada beberapa remaja–yang tidak tanggung lagi–nongkrong. Kebanyakan mereka duduk mepet, sambil matanya serius memelototi telepon genggam yang dipegang memanjang. Kalau melihat posisinya, kita bisa duga mereka sedang mabar (main bareng) game online. Ada yang menutup mulut dan hidung dengan masker, ada yang tidak.
Tak hanya Jakarta, di Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, dekat kediaman Jimmy Ginting, salah seorang aktivis dari Yayasan Satu Keadilan Bogor dan Gerakan Indonesia Kita (GITA), masih banyak juga orang yang nongkrong di portal-an. Pakai masker sih, cuma yah tidak sepenuhnya juga akan terhindar dari virus.
Menurut Jimmy, masker itu sebenarnya cuma alat pendukung untuk mewujudkan social distancing. Harusnya orang bisa sadar kalau kondisi saat ini tidak baik-baik saja, karena masker semakin sering menempel di wajah.
Jimmy juga gundah melihat petugas berjaga di pos periksa (check point) tidak bekerja dengan maksimal, karena cuma memastikan orang pakai masker atau tidak. Petugas pun hanya berjaga hingga pukul enam sore. Keadaan itu ia temukan di pos periksa yang berada di Perempatan Salabenda, juga di pertigaan McDonald’s Parung–Sawangan, Kabupaten Bogor.
Menurut Jimmy, selain memastikan orang untuk memakai masker, para petugas seharusnya mengecek alamat para pengemudi. “Petugas di check point harus lebih serius, setiap orang diperiksa, biar jalan agak macet dan bikin males orang keluar,” katanya.
Pemerintah mengimbau warga yang hendak keluar rumah harus memakai masker, sejak 5 April lalu. Tapi jelas masker saja tak cukup, karena virusnya bisa menempel di mana-mana, di tiang portal, di bangku, di baju, dan bagian lain yang mungkin tak terduga.
Di kertas dan tisu, virus bisa bertahan kurang dari tiga jam. Di kayu dan kain yang berbahan katun bertahan selama dua sampai tiga hari. Di permukaan kaca dan uang bertahan kurang dari empat hari. Bahan dari stainless steel dan plastik bisa bertahan selama seminggu. Bahkan di bagian luar masker medis, virus bisa bertahan lebih dari seminggu. Meski, kata para peneliti, risiko terinfeksi dari bahan-bahan ini rendah.
Beberapa peneliti mencoba menemukan apakah SARS-CoV-2 bisa menular melalui udara. Ada yang mengungkapkan, ketika virus tersuspensi dalam tetesan lebih kecil dari lima mikrometer–dikenal sebagai aerosol–ia dapat bertahan selama sekitar setengah jam di udara sebelum jatuh ke permukaan.
“Selama bernafas atau berbicara, transmisi aerosol SARS-CoV-2 mungkin terjadi dan berdampak pada orang yang dekat maupun jauh dari sumbernya,” kata ahli virologi dari Universitas Wuhan, Ke Lan, melalui Nature.com.
Para peneliti di Nebraska, AS, juga melihat kemungkinan penularan melalui udara. Mereka menemukan RNA virus di hampir dua pertiga sampel udara yang dikumpulkan dari ruang isolasi di rumah sakit yang merawat pasien Covid-19 dan tempat-tempat karantina. Partikel aerosol virus diproduksi oleh individu yang memiliki penyakit Covid-19, bahkan tanpa adanya batuk.
Namun sampai saat ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum yakin kalau virus tersebut bisa menular melalui udara. WHO belum melihat ada bukti yang meyakinkan. Penelitian yang mereka lakukan kepada lebih dari 75 ribu kasus Covid-19 di Tiongkok, tidak menemukan adanya penularan melalui udara.
Terlepas dari perdebatan para peneliti, cara yang paling bisa dilakukan untuk mencegah virus adalah menghindari kerumunan. Jika perlu, tak hanya memakai masker, tapi juga mengenakan pelindung wajah.
Sekarang kita seperti berada di kamar yang sama. Maksudnya sama-sama terkurung di dalam kamar masing-masing. Kalau kamar dirasa terlalu kecil, bisa diganti jadi rumah, kapal, pesawat, dan seterusnya. Toh, kita tak bisa bergerak lebih leluasa, tak bebas pergi, dan jangan nongkrong.
Karena semakin lama orang berada di daerah yang terkontaminasi, semakin banyak partikel virus yang kemungkinan dihirup. Kita sama sekali tak mengetahui kapan tempat itu terkontaminasi, bisa jadi baru-baru saja. Bisa jadi ada di tiang portal kompleks permukiman kita. Lalu kita tak sengaja menyentuhnya, tak sadar memegang hidung atau sekitar wajah saat memperbaiki masker yang dikenakan.
Saat itulah pakai masker saja tak cukup, apa pula nongkrong di portal. []