Jakarta kembali memperketat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), setelah sekian bulan menjalani fase PSBB Transisi. Pengetatan PSBB akan berlangsung dari tanggal 14 sampai 27 September, dan bukan tidak mungkin akan terus diperpanjang, apalagi angka kasus terus melaju.
Bagaimana jika sampai enam bulan lagi? Pertanyaan itu yang ada di pikiran Sarta atau sering dipanggil Mama Atha. Jika bertemu orang baru, ia mengenalkan diri dengan nama Pandan, nama akun Facebook pribadinya. Ia salah seorang waria senior di Kampung Duri, Tambora, Jakarta Barat. Lahir dan berumah di salah satu sudut pasar Pos Duri. Pada 12 Januari tahun ini, usianya genap 52 tahun. Karena lebih senior dan dituakan, Mama Atha menjadi tempat mengadu keluhan rekan-rekan sesama waria.
“Ma, ini gimana yah Ma kita lockdown (PSBB) lagi?” kata Atha menirukan keluhan teman-temannya. Ia bingung mau bilang apa, yang pasti dia tak mungkin menjawabnya dengan keluhan juga. Ujung-ujungnya ia cuma bisa kasi jawaban: bersabar! Lebih baik begitu pikirnya, meski jawabannya sungguh klise.
“Kadang aku suka kasihan sama mereka, melihat mereka mejeng kalau malam, belum lagi hujan, angin,” cerita Atha.
Waria memang menjadi kelompok yang rentan di masa pandemi. Bisa dihitung dengan jari tangan untuk waria di Kampung Duri yang memiliki pekerjaan tetap atau usaha sendiri, entah jualan kue atau punya salon. Rata-rata mereka mengambil jalan praktis untuk menyambung hari-hari mereka dengan penghasilan harian, yang biasa didapat dari mengamen, rias pengantin, atau mejeng alias nyebong (sebutan bagi rekan waria yang bekerja sebagai pekerja seks).
Namun saat ini pekerjaan semuanya jadi sepi pelanggan dan pemasukan. Biasanya yang ngamen mendapatkan uang 100 ribu rupiah per hari, karena pandemi, mereka cuma mendapat setengahnya. Sering kurang dari setengah. Sementara yang tadinya membantu di salon, kini turun ke jalan untuk ngamen ataupun nyebong. Atha sendiri sampai menutup usaha salonnya dan banyak pekerjaan rias pengantin yang dibatalkan. Ada klien yang tidak membatalkan, tapi karena acara resepsi ditiadakan, jadinya ia cuma merias di acara akad. Konsekuensinya, bayaran pasti berkurang.
Mungkin Atha, masih bisa memutar otak untuk mendapatkan penghasilan atau sekurang-kurangnya mendapatkan bantuan. Seperti hari rabu lalu, dia baru saja mengantar pesanan kue ke Taman Ismail Marzuki. Yang pesan katanya seorang kenalan di industri film. Tapi bagi teman-teman yang lain, memiliki banyak keterbatasan, dan jalan satu-satunya mereka nyebong lagi.
“Mak ada bantuan lagi gak?” kata Atha mengulang teman-temannya lagi.
“Nantilah kita lihat yah,” Atha menjawab. “Kalau masih ada nanti juga kita kasih tahu.”
Atha dan beberapa waria yang terlibat dalam Sanggar Seroja memang sudah membicarakan perihal bantuan tersebut.
***
Jam sembilan pagi, 12 September, lima orang dari rombongan Gerakan Indonesia Kita (GITA) menuju Kampung Duri, setelah sejam saling tunggu di Family Mart Season City. GITA adalah sebuah perkumpulan (begitu mereka menyebutnya) yang didirikan pada 17 Mei 2017 oleh individu-individu dengan beragam latar profesi, salah seorang di antara mereka adalah sastrawan, Goenawan Mohamad. GITA dibentuk sebagai upaya untuk merawat keragaman dan toleransi di masyarakat.
Hari ini, rombongan GITA akan membawa bantuan sembako kepada 60 waria di Kampung Duri yang terafiliasi dengan Sanggar Seroja. Bantuan itu hasil dari donasi yang mereka kumpulkan melalui platform urunan massal, Kitabisa.com, sebesar 97 juta rupiah.
Dengan dua bajaj dan satu mobil box, mereka menuju rumah Atha. Di sana sembako-sembako itu akan dikumpulkan. Jalan menunju rumah Atha begitu padat. Melewati pasar. Tapi kali ini rombongan sedikit beruntung dibanding bulan lalu, saat mengantarkan bantuan sembako yang pertama. Mereka harus memutar arah mencari jalan lain, karena jalur tercepat tertutup, terhalang oleh hajatan warga di badan jalan. Ditambah beberapa panggung di mulut gang sudah didirikan untuk merayakan hari kemerdekaan yang akan berlangsung dua hari lagi.
Rombongan GITA sudah janjian di depan Masjid Al Ala. Memang mobil hanya bisa sampai di depan masjid, soalnya banyak pedagang sayur yang melapak di dekat situ. Sementara itu, Atha dan teman-temannya sudah menunggu beberapa menit lalu.
Begitu bak belakang mobil dibuka, dengan cekatan mereka mengangkut beras berkarung-karung dan kardus-kardus besar berisi bermacam sembako: ada minyak goreng, rencengan sambal, dan berbagai macam kebutuhan dapur, plus kondom. Beberapa warga juga urun tenaga.
Jarak rumah Atha dari masjid tak jauh, sekira dua ratus meter, namun harus menyeberangi beberapa ruas rel. Kita bisa melihat penumpang yang menunggu di peron stasiun Duri dari situ. Para waria yang mengangkat kardus, seringkali berhenti mengambil nafas sebelum menyeberangi rel. Berat memang, tapi ada saja satu dua waria yang memiliki tenaga lebih untuk membopongnya seorang diri.
Setelah menyeberangi rel, baru akan memasuki kawasan pasar Pos Duri. Hanya satu kali belokan, sudah sampai di rumah Atha. Jika masih ingat kebakaran di pasar Pos Duri yang terjadi pertengahan bulan lalu, titik api dari rumah Atha hanya berjarak sepelemparan batu (dengan setengah tenaga). Atha yang mengalami hidup di tahun 70-an mengatakan, kalau kawasan tempat tinggalnya dulu dikenal dengan julukan Gang Bencong.
Kardus-kardus sembako dari GITA ditumpuk di sepetak ruangan salon Atha yang berhenti beroperasi semenjak pandemi itu. Atha sendiri punya sebilah kamar di lantai dua, yang tangganya terpisah dari salon. Tempatnya kumuh dan apek. Aroma tahi kucing cukup mengganggu dan perlahan-lahan menebal di lubang hidung.
Waria yang tadi menjemput di dekat masjid, segera mengambil peran masing-masing: ada yang langsung menata sembako, ada yang menelepon temannya satu per satu untuk segera datang. Suasana di situ ramai sekali. Yang tadi menelepon kadang setengah berteriak, “ada sembekes cus.” Ayok, ada sembako katanya.
Di tengah keriuhan pembagian sembako, seorang remaja perempuan muncul, turun dari tangga depan. Segera Atha menarik tangan anak itu dan memperkenalkannya kepada rombongan GITA.
Namanya Mega.
Mega tumbuh besar di sana dan sekarang usianya sudah 17. Ia baru masuk sekolah menengah di SMK Yadika II Tanjung Duren, Grogol. Ia cuma tahu bahwa yang mengasuhnya adalah Atha. Bukan ibu kandung, pun ayah kandungnya. Mega tak merasakan ASI, ia besar dengan susu formula. Tapi ia merasa beruntung dibesarkan oleh seorang waria. Ia menjadi sadar akan beragamnya gender dan lebih menghargai perbedaan-perbedaan yang ada pada diri seseorang.
“Kalau nggak ada mama, Ega nggak tahu deh bisa berpikir se-dewasa ini atau nggak”
Mega mengakui kalau Atha-lah yang paling berperan dalam pendewasaannya, meski mereka sering berselisih, dan kadang ia kesal kepada mamanya itu. Namun seberapun kesalnya Mega, ia masih memegang teguh sebuah pepatah: kalau surga di telapak kaki ibu. Meski ibu yang dimaksudnya adalah seorang waria. “Kalau elu ngelawan, lu emang mau entar nggak dapat surga?”
Bagi Mega, Atha adalah sebaik-baiknya orang tua, ia bisa mengisi kekosongan yang sekian lama tidak diberikan oleh kedua orang tua kandungnya.
Sejak bayi ia sudah ditinggal pergi. Umur 4 tahun, ibu kandungnya meninggal. Ayahnya, saat ini entah. Dan dari situlah ia melihat Atha mewujud sebagai seorang ibu dan di lain waktu berperan sebagai ayah. Kadang juga sebagai kakak. Dan Mega baru menyadari kalau mamanya itu adalah seorang waria di umur 4 tahun. Dari situlah kemudin pelan-pelan ia mengetahui kalau teman-teman mamanya yang sering berkumpul di rumah juga adalah sesama waria.
“Mama tuh bukan mama yang kayak orang-orang, bukan mama yang perempuan, karena itu mama bisa jadi apapun.”
Selain Mega belajar tentang menghargai perbedaan dari mamanya, Atha juga mendekatkan dia dengan kesenian. Bersama teman-temanya ia membentuk Sanggar Seroja. Ia berharap, dari Sanggar Seroja bisa tercipta ruang-ruang inklusif bagi sesama waria di masyarakat luas. Atha pun biasa melibatkan Mega dalam kegiatan sanggar dan berharap anaknya bisa terus terlibat aktif.
“Jadi waria ini kan memang dari dulu dianggap apa sih,” kata Atha, tapi, lanjutnya kemudian, “waria-waria dulu keseniannya bagus. Bertekad bagaimana caranya supaya waria bisa diterima di masyarakat.”
Pada umur 25 tahun ia mulai melibatkan diri dan banyak mengikuti festival-festival tari. Festival pertama yang diikuti dalam tingkat sejabotabek meraih juara tiga. Pernah berhasil meraih juara dua dalam festival se-DKI Jakarta. Bukan cuma tari, bakat aktingnya dalam teater membuat dia terpilih sebagai aktor terbaik dalam beberapa festival kota sampai festival berskala nasional.
Tahun 80-an sampai 90-an menurut Atha cukup menggembirakan bagi para waria karena masih banyak festival-festival kesenian yang bisa diikuti. Yang paling diingat Atha adalah Diskotik Moonlight dulunya masih sering mengadakan perlombaan tari di setiap Hari Kartini, bahkan pernah ada satu masa setiap kamis, Diskotik Moonlight, Hayam Wuruk, mempersembahkan tari Jaipong. Dan Atha yang sering mengisi sesi tari Jaipong itu maupun jadi juri dalam lomba Hari Kartini.
Geliat berkesenian di komunitas-komunitas transpuan itu coba dibangkitkan kembali oleh Atha dan teman-temannya melalui Sanggar Seroja. Minggu lalu, 13 September, Sanggar Seorja menggelar pementasan kesenian virtual. Pementasan itu sekaligus upaya penggalangan dana untuk membantu sesama waria di Kampung Duri. Mereka juga menunjukkan kalau semangat mereka dalam kesenian masih ada meski di tengah-tengah pandemi Covid-19. Semangat itulah menjadi alasan kenapa GITA mendukung penuh berlangsungnya pementasan Sanggar Seroja.
“Gerakan Indonesia Kita selama ini memang aktif mempromosikan kesenian tertutama karena kita juga mempromosikan pluralisme dan toleransi,” kata Ening Nurjanah, salah seorang anggota GITA yang menginisiasi bantuan buat waria di Kampung Duri, saat memberikan sambutannya sebelum pementasan dimulai. “Kita juga melihat semangat teman-teman di tengah pandemi, teman-teman susah cari kerjanya, banyak yang ditutup tempat kerjanya, tapi tetap semangat mau berkesenian.”
“Memang aku menggerakan mereka untuk selalu berkesenian,” kata atha yang sejak usia 7 tahun mulai menyadari kalau gendernya berbeda. 26 April tahun lalu, mereka juga mementaskan lakon “Sepenggal Kisah Kampung Duri”, yang menceritakan kehidupan Atha dan sesama waria di Kampung Duri.[]