Rehabilitasi Efek Panjang Covid-19

Gejala Covid-19 tak berhenti ketika orang dinyatakan telah negatif. Efeknya bisa bertahan berbulan-bulan, karena paru-paru mengalami fibrosis atau mengerut dan kaku.
sumber: https://www.tokopedia.com/blog/cara-menjaga-kesehatan-paru-paru-hlt/

Setiap orang memiliki respons yang berbeda-beda ketika terinfeksi SARS-CoV-2. Kita tak asing lagi dengan tiga istilahnya: asimtomatis atau tanpa gejala; pre-simtomatis atau bergejala sesudah beberapa hari terinfeksi; dan simtomatis atau mereka yang langsung bergejala begitu terinfeksi virus penyebab Covid-19. Tingkat simtomatis bervariasi mulai dari gejala sedang sampai kritis.

Selain itu, gejala yang dialami pasien tergantung pada daya tahan tubuhnya. Mereka yang paling berisiko kritis biasanya orang lanjut usia atau yang memiliki penyakit bawaan, seperti jantung, tekanan darah tinggi, dan diabetes.

Profesor dari Divisi Preventif-Rehabilitasi Kardiovaskuler Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) dan PJNHK (Pusat Jantung Nasional Harapan Kita), Budi Setianto, dalam seminar “Mengenali Risiko Covid-19 dan Rehabilitasi Medik bagi Penyintas” menjelaskan, “500 rumah sakit di Cina menyimpulkan bahwa dua atau tiga atau lebih penyakit bawaan bisa berakibat fatal atau meninggal.”

Akhir tahun lalu, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menyampaikan jika orang yang memiliki satu komorbiditas, risiko meninggalnya bisa enam setengah kali lipat; dua komorbiditas lima belas kali lipat; tiga komorbiditas bisa sampai 29 kali lipat.

Jika melihat dari jenis penyakitnya, yang paling tinggi menyebabkan kematian ialah pasien dengan penyakit ginjal. Risiko kematiannya mencapai 13,7 kali lipat. Sedangkan orang dengan penyakit jantung sembilan kali lipat; orang dengan diabetes berisiko delapan kali lipat; orang dengan hipertensi enam kali lipat, dan penyakit imun enam kali lipat berisiko meninggal dunia.

Dari segala “kali lipat” risiko kematian karena Covid-19, bukan berarti orang yang rentan tidak bisa sembuh. Tentu perawatannya lebih lama dan intens, bisa sampai tiga minggu lebih.

Gejala Covid-19 muncul setelah sembuh

Ada satu kasus di Mumbai, India, yang sempat viral dan diberitakan oleh media di Indonesia. Seorang pasien perempuan, 62 tahun, dengan obesitas dan tiga penyakit bawaan: asma, diabetes, dan kanker. Ia bisa sembuh dari Covid-19. Saat dibawa ke rumah sakit, saturasi atau kadar oksigennya hanya 83-84 persen. Selama hampir satu bulan dirawat di Rumah Sakit Bombay, Mehnaz Lokhandwala, harus dibantu dengan oksigen 15 liter per hari.

Saturasi oksigen yang normal adalah 95 sampai 100 persen. Untuk pasien maupun penyintas Covid-19 jarang saturasinya yang sampai angka 97. Yang perlu diwaspadai jangan sampai saturasi oksigen ini turun empat poin dari angka saturasi 95. Karena  kalau sudah sembilan puluh ke bawah pasien harus dibantu dengan oksigen.

Tapi gejala yang ditimbulkan Covid-19 tak berhenti ketika orang sudah dinyatakan negatif. Mantan pasien Covid-19 masih bisa memunculkan gejala. Biasa disebut Long Covid atau Post Covid-19 Syndrome.

“Inflamasi masih tetap sampai beberapa bulan pasca-covid, sehingga pasien sudah aman secara klinikal tapi masih ada sesak,” jelas Kepala Kelompok Staf Medis Rehabilitasi Medik RSUP persahabatan Jakarta, Siti Candra Widjanantie.

Inflamasi atau peradangan merupakan mekanisme tubuh yang berlangsung secara alami untuk memberi perlindungan dari serangan virus, bakteri, jamur, atau mikroorganisme asing.

Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Penanganan Covid-19, Sonny Harry Harmadi, ikut menjelaskan bahwa gejala Covid-19 bisa tetap muncul setelah sembuh karena masih terdapat jaringan parut sisa infeksi. “Pada kasus SARS dan MERS butuh waktu 12-24 bulan untuk menghilangkan jaringan parut.”

Jaringan parut merupakan jaringan yang terbentuk secara alami dari proses penyembuhan luka. Jaringan parut ini masih sangat rentan sehingga orang sembuh dari Covid-19 bisa mengalami fibrosis paru. Fibrosis akan mengganggu pertukaran karbon dioksida dan oksigen, sehingga fungsi paru akan menurun. Akibatnya paru akan mengerut atau kaku atau susah mengembang.

Laporan yang terbit di jurnal Nature tentang gejala setelah sembuh dari Covid-19 mengemukakan bahwa hasil evaluasi dari 1.250 pasien di 38 rumah sakit di Michigan, Amerika Serikat: ada 6,7 persen penyintas meninggal, sedangkan 15,1 persen kembali dirawat inap.

Covid-19 membangkitkan penyakit lama

Sementara itu, dari 488 penyintas lainnya yang masih dalam pantauan: ada 32,6 persen melaporkan gejala yang sama saat menderita Covid-19; 18,9 persen muncul gejala baru atau semakin memburuk; sesak napas 22,9 persen, batuk 15,4 persen; serta gangguan penciuman dan pengecapan 13,1 persen.

Temuan serupa dilaporkan saat meneliti penyintas Covid-19 di Eropa. Di Italia ada sebanyak 87,4 persen dari 143 para penyintas mengalami gejala yang sama ketika waktu positif. Gejala yang paling sering dilaporkan selanjutnya ialah cepat lelah, sesak napas, nyeri sendi, dan nyeri dada. Penelitian kepada penyintas Covid-19 di Prancis pun menunjukkan gejala yang hampir sama. Dari 150 orang yang diteliti selama 60 hari, ada seratus orang yang melaporkan gejala serupa kala ia positif, sedangkan lima puluh orang yang lain merasa gejala yang muncul lebih buruk dari sebelumnya.

Efek jangka panjang tampaknya lebih mungkin terjadi kepada orang yang memiliki komorbiditas, atau kepada orang dewasa yang lebih tua. Beberapa pasien juga lebih mungkin mengalami efek jangka panjang jika mereka mengalami gejala yang lebih parah waktu dinyatakan positif.

Orang yang lebih muda dan lebih sehat juga dapat mengalami efek jangka panjang dari Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa hasil survei penyintas Covid-19 dari kalangan orang dewasa, sebanyak 20 persen dari usia 18 hingga 34 tahun masih merasakan efek jangka panjang.

Anindhita Callista, perempuan berusia 23 tahun adalah salah satu penyintas Covid-19 dari Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan (sekarang ia indekos disekitaran Jalan Asia Afrika) yang mengalami efek jangka panjang dari Covid-19. Ia terinfeksi Covid-19 pada Januari 2021.

Selama satu minggu masa perawatannya ia mengalami gangguan penciuman dan pengecapan; sakit kepala; radang tenggorokan; serta tiga hari merasa demam.

Setelah dinyatakan negatif, ia masih merasakan gejala yang sama selama tiga minggu meski intensitasnya menurun. “Saya masih ada batuk kering, cuma tidak sesering saat masih positif Covid,” katanya.

Covid-19 memicu bangkitnya penyakit lain yang pernah diderita oleh tubuh. “Banyak pasien kami yang punya back pain lama, saat dia terkena covid, bangun back pain-nya, jadi pada saat post Covid tidak hanya sesaknya yang berkepanjangan tetapi nyeri pinggangnya pun ikut mengurangi kualitas hidupnya,” kisah Siti Candra Widjanantie.

Rehabilitasi sebelum sembuh

Pasien maupun penyintas mesti merehabilitasi diri untuk mengurangi dampak dari gejala Covid-19. Kebanyakan orang melakukan rehabilitasi begitu sembuh padahal rehabilitasi dilakukan justru ketika mulai terinfeksi karena tujuan awalnya adalah pencegahan. Mencegah paru-paru menjadi kaku, mencegah segala penyakit penyerta menjadi gawat.

Rehabilitasi hanya mengoptimalkan kondisi organ tubuh saat itu. Sehingga kalau terlambat, proses penyembuhannya bisa semakin lama atau kemungkinan pulihnya semakin kecil. Sebab, rehabilitasi hanya menstimulasi penyembuhan dari dalam tubuh, bukan mengganti organ jika ada yang tidak berfungsi.

“Rehab bukan mencegah Covid, tapi mencegah disabilitas karena Covid,” tegas Siti Candra Widjanantie.

Dalam rehabilitasi Covid-19 yang perlu diperhatian sebelum dan sesudah sembuh dari Covid-19 ialah sistem respirasi atau sistem pernapasan pasien. Apakah paru-paru sebagai tempat bertukarnya oksigen dan karbon dikosida masih berfungsi dengan baik atau tidak.

Banyak yang tidak memperhatikan bahwa gerakan secara otomatis saat kita “menarik napas” dan “membuang napas” itu terkait dengan seluruh batang tubuh. Postur tubuh, kelenturan otot tubuh, kelenturan diafragma, akan mempengaruhi kualitas proses bernapas seseorang. Sehingga orang yang suka berolahraga intensitas menarik oksigennya tentu berbeda dengan orang yang semalam suntuk di depan gawai.

Siti Candra Widjanantie menjelaskan, kalau ada yang mengalami kaku bahu, pernapasan ikut terganggu; ada gangguan di pinggul atau di pinggang pernapasan juga terganggu.

“Orang [yang sering] di depan gadget, di depan komputer, itu jelas paru-paru seperti dilipat, kalau [paru-parunya] mau mengembang pasti sulit, dan kalau dia terkena Covid-19 pasti dahaknya akan lebih banyak, ngeluarin-nya lebih sulit.”

Beberapa anjuran latihan

Untuk membantu saat batuk supaya tekanannya tidak terlalu tinggi atau memudahkan bila mengeluarkan dahak, kita perlu latihan batuk. Bukan apa-apa, batuk itu tak hanya batuk biasa tapi ada batuk dengan glotis terbuka atau batuk yang kencang, yakni udara bergerak keluar dengan kecepatan suara yang hampir sama. Latihan batuk yang dilakukan seperti membuat embun di kaca. Pelan-pelan. seperti bernafas kecil-kecil, ada sedikit penekanan saat mengeluarkan udara di kerongkongan.

Selain batuk, umumnya pasien akan mengalami sesak napas. Untuk mengatasi sesak napas, yang paling utama dilakukan ialah memperbaiki posisi tubuh. Kalau duduk, istirahatkan diafragma dan otot pectoralis (otot yang berada di bagian dada) dengan cara menyondongkan badan dan menyandarkan dada pada bidang datar supaya bernapas jadi lebih enak. Bisa juga dilakukan dengan sambil berbelanja, kalau misalkan sedang ke supermarket dan memakai troli, posisi badan bisa dicondongkan ke depan di atas pegangan troli.

Kalau posisinya tidak memungkinkan untuk menyandarkan dada, bisa menyandarkan punggung ke dinding. Intinya posisi itu dilakukan supaya otot dada bisa rileks dan diafragma tidak bekerja dengan berat, karena selain bekerja untuk proses pernapasan, diafragma juga menyokong batang tubuh.

Posisi lain yang bisa dilakukan untuk mengatasi sesak napas ialah posisi tidur tengkurap. Posisi ini akan memperbaiki oksigenasi karena oksigen yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak dan jaringan paru teregang secara pasif. Untuk mendapatkan hasil optimal, posisi ini bisa dilakukan selama dua jam.

Yang bisa dilakukan selanjutnya adalah perbaiki sangkar dada.

Caranya: menegakkan postur tubuh, memperbaiki gelang bahu, latihan pernapasan, dan latihan pengembangan dada. Pengembangan dada itu terjadi karena kita tarik napas, kemudian mengembang karena dorongan udara dari dalam, atau juga karena kita menggerakkan gelang bahu ataupun gelang pinggul. Jadi otot-otot yang berkaitan dan berdekatan dengan dada dan diafragma sebagaiknya dilatih agar jadi lentur. Dengan olahraga yoga bisa jadi salah satu caranya.

Jangan capek

Tapi dalam latihan perenggangan otot yang berkaitan dengan sistem respirasi secara langsung maupun tak langsung, pasien harus mengenali batas tenaga maksimumnya. Pasien tak boleh terlalu capek. Bagaimanapun, seperti kata kebanyakan orang, yang berlebihan itu biasanya kontraproduktif.

Terakhir yang bisa dilakukan adalah latihan hitung napas. Tarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan pelahan. “Tarikkk … tahannn.” Hitung sampai sepuluh kemudian hembuskan pelan-pelan.

Bagi yang sedang batuk tak diperkenan menarik napas dalam. Ia bisa latihan dengan cara napas relaksasi. Udara yang dihirup satu-satu seperti meniup balon. Jika udara sudah terkumpul dengan cukup, buang dengan pelan-pelan. Lebih sering latihan hitung napas dilakukan dengan tertatur akan lebih bagus.

Selain bagian rehabilitasi, latihan hitung napas juga bisa untuk mengira-ngira saturasi oksigen yang ada dalam tubuh. Kalau bisa menahan napas dalam-dalam, dalam hitungan sampai sepuluh, biasanya saturasi orang tersebut di atas 94. Tapi, jangan lupa: mengukur saturasi oksigen harusnya dilakukan ketika kita sedang beraktivitas, bukan ketika sedang beristirahat.

Untuk menguji apakah progam rehabilitasi ini berjalan dengan baik, pasien bisa mengukur dengan latihan napas tadi dan uji jalan selama enam menit tanpa henti. “Memang rehabilitasi post-Covid, khususnya bagi kami ini adalah untuk mengatasi disfungsi respirasi seoptimal yang kami mampu dengan semua keterbatasan yang ada, karena kelenturan jaringan paru itu harus dijaga,” kata Candra, begitu Siti Candra Widjanantie biasa dipanggil.[]

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.