Gelombang PHK di Tengah Pandemi

Sudah lebih dari 2 juta orang di-PHK atau dirumahkan. Beberapa perusahaan menjadikan Covid-19 sebagai modus memecat pekerja. Pemerintah merespons dengan surat edaran.

“Tiga bulan ke depan gajinya hanya 50 persen. (Dan) 50 persen itu hanya Rp 900.000,” kata salah seorang karyawan PT Bintang Karya Inti, Siti, kepada Kompas.com. Siti ikut dalam aksi bersama ribuan karyawan lain  menuntut hak mendapatkan gaji penuh, 24 Maret 2020.

Pandemi Covid-19 memang tak hanya menyerang sistem kekebalan tubuh, tapi ikut menggerus sistem pertahanan hidup. Menteri Keuangan menyebut ada empat sektor yang paling tertekan akibat Covid-19, yakni sektor rumah tangga, UMKM, korporasi, dan sektor keuangan.

Pada sektor korporasi, misalnya, pendapatan industri pariwisata menurun karena pergerakan orang terbatas atau dibatasi. Di industri manufaktur terdampak pada sisi rantai pasok–impor bahan baku terhambat. Produksi UMKM terganggu, dan konsumsi rumah tangga menurun.

Situasi ini mengakibatkan para pekerja, sektor informal maupun formal, menjadi kelompok rentan. Ada yang dipotong upahnya, seperti dialami oleh karyawan PT Bintang Karya Inti; dirumahkan tanpa upah; hak cuti ditolak; hingga  pemutusan hubungan kerja (PHK). Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO memproyeksi akan ada sebanyak 1,25 miliar orang di seluruh dunia kena dampak korona dan berisiko di-PHK.

Berdasarkan data Kementrian Ketenagakerjaan, hingga 20 April 2020, total jumlah pekerja yang terdampak Covid-19 dari sektor formal dan informal sebanyak 2.084.593 orang yang datang dari 116.370 perusahaan.

Jika dirinci: sebanyak 1.304.777 pekerja formal dirumahkan oleh 43.690 perusahaan, dan yang di-PHK sebanyak 241.431 pekerja dari 41.236 perusahaan. Di sektor informal, sebanyak 538.385 orang kehilangan pekerjaan akibat diberhentikan oleh 31. 444 perusahaan atau UMKM.

Dari angka keseluruhan, DKI Jakarta menjadi penyumbang yang paling besar. Ada sebanyak 449.545 pekerja yang dirumahkan.

Dari total 116.370 perusahaan yang mengaku terkena dampak pandemi, 83.546 perusahaan di sektor formal mem-PHK atau merumahkan total 1,5 juta pekerja. Sedangkan, di sektor informal lebih dari 443 ribu di-PHK atau dirumahkan dari sebanyak 30.794 perusahaan.

Mereka yang di-PHK tentu sulit mendapatkan pekerjaan lagi. Sedikit perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan di masa seperti ini. Sehingga pekerja yang kena PHK langsung berpotensi terjerembab ke ambang kemiskinan.

Pandemi Covid-19 ini jadi alasan utama perusahaan mengurangi pekerjanya. Pemerintah, sejak bulan lalu, merespons dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja yang dikirimkan kepada Gubernur di seluruh Provinsi, 17 Maret 2020. Isinya mengenai perlindungan buruh dan kelangsungan usaha.

Namun, surat edaran ini dianggap belum menjawab persolan korban PHK. Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan surat edaran tidak akan mengikat secara hukum. “Kayak semacam imbauan aja, mau dilaksanakan syukur, enggak juga ya udah, gak ada sanksinya.”

Sejak Maret, LBH Jakarta membuka layanan konsultasi dan bantuan hukum untuk masalah-masalah yang terjadi selama pandemi Covid-19. Misalnya, soal peminjaman daring (online), bantuan sosial, dan masalah ketenagakerjaan. Hingga pekan ini, sudah 82 pengaduan yang masuk. Untuk masalah ketenagakerjaan baru ada sekitar 20 laporan.

Arif menjelaskan, para buruh mesti memahami posisi hukumnya dalam penyelesaian perselisihan. Secara hukum hal ini diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, utamanya pasal 153. Selain itu, dalam pasal 164 disebutkan perusahaan dapat melakukan PHK karena mengalami kerugian dua tahun berturut-turut, ada keadaan memaksa, dan dengan alasan efisiensi. Tapi kondisi itu harus dibuktikan dengan laporan keuangan dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

Untuk penyelesaian perselisihan itu sendiri, para korban PHK terlebih dulu melakukan perundingan bipartit. Negosiasi langsung antara pihak pekerja dan perusahaan. Tahap selanjutnya ada tripartit. Pemerintah melalui dinas terkait memediasi perselisihan tersebut. “Tugasnya negara itu mengawasi perusahaan supaya perusahaan tunduk pada undang-undang ketenagakerjaan,” jelas Arif.

Dalam pasal 151 ayat 1 UU Ketenagakerjaan tertulis bahwa pengusaha dan pemerintah, dengan segala upaya, harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK. Semangat pasal ini seharusnya menjadi niatan awal bagi pemerintah untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan di tengah pandemi Covid-19.

Kartu Prakerja

Tiga hari setelah Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menerbitkan surat edaran, pemerintah meluncurkan Kartu Prakerja, Jumat 20 Maret. Kartu Prakerja diharapkan sebagai jaring pengaman sosial yang tepat.

Tapi, segera program ini menuai kritik. Publik menyorot soal paket pelatihan di Kartu Prakerja. Pelatihannya serupa yang kita jumpai di YouTube atau mungkin tips-tips yang dibaca ketika hari pertama lulus kuliah. Bedanya, tayangan tutorial di YouTube gratis, paket pelatihan  Prakerja bayar sejuta rupiah.

Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, kepada Tirto.id, mengusulkan agar biaya-biaya itu dilebur ke dalam satu skema bantuan sosial. Tidak perlu rupa-rupa dan ribet. Tujuannya, dalam masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) orang tidak keluar rumah, sekaligus mengatasi pendapatan yang hilang.

Sedangkan Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengusulkan pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan atau langsung kepada karyawan agar tidak terjadi PHK. Bukan sekadar menerbitkan surat edaran tetapi dengan peraturan, bila perlu, ada sanksi yang menjeratnya.

“Minimal sanksi administrasi. Bukan hanya sekedar pengaturan tapi memaksimalkan fungsi pengawasan,” katanya di ujung telepon, kemarin sore.

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.