Normal Baru Atau Kasus Normal Baru?

Penumpang tak ragu berdesak padat di kendaraan umum, antrean panjang membuat lelah. Hari pertama masuk kerja massal menjadi peringatan bahwa kebijakan pelonggaran mesti diperiksa ulang.
Antrean penumpang Trans Jakarta di hari pertama masusk kerja setelah work from home
Penumpang Trans Jakarta di koridor Pulogadung-Dukuh Atas di Halte Tosari ICBC, Jumat, 5 Juni 2020.

Peneliti dari Universitas Bonn di Jerman, Ricarda Schmithausen, dan beberapa rekannya meneliti jejak virus SARS-CoV-2. Laporannya diunggah tanggal 2 Juni ke situs penelitian kesehatan medRxiv. Mereka mengunjungi 21 rumah secara acak dengan status karantina yang di dalamnya baru saja ada pasien Covid-19. Tes usap tenggorokan dilakukan kepada seluruh penghuni rumah; menguji segala macam perabotan rumah tangga, alat elektronik; hewan dan tumbuhan, makanan dan minuman; limbah, juga udara.

Hasilnya, 26 dari 43 orang dewasa yang diuji dinyatakan positif terjangkit virus; 10 dari 66 sampel air limbah terkontaminasi virus; dan 4 dari 119 sampel objek di dalam rumah dihinggapi virus. Adapun 15 sampel udara tak satu pun terkontaminasi. Paling seringnya, virus ini menggeliat pada permukaan alat elektronik dan perabotan rumah tangga, utamanya gagang pintu (rumah, kamar, kulkas). Saluran pembuangan kamar mandi, wastafel dan kakus juga terkontaminasi virus. Peneliti menyimpulkan rute utama penularan langsung virus ini melalui butir-butir tetesan ludah, juga bersin.

Itu di dalam rumah. Bisa dibayangkan di tempat-tempat umum? Kursi tunggu, palang besi mesin pindai uang elektronik di stasiun dan halte, cekauan tangan di kereta dan bus, antrean panjang nan rapat di loket dan koridor. Di tiap tombol mesin ATM, atau gagang pintu toko swalayan, banyak.

Grafik masih tak tentu

Awal Mei lalu, setelah 600-an penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) lintas Bogor dan Bekasi diperiksa, didapati 6 orang positif Covid-19 . Seorang penumpang yang berangkat dari Stasiun Bojonggede, Kabupaten Bogor, belakangan diketahui hasil tesnya positif, tapi ia kadung berangkat ke tempat kerjanya di Jakarta. Gerombong penumpang bersamanya potensial berstatus orang dalam pantauan (ODP). Tapi siapa yakin mereka akan melaporkannya? Petugas di pintu gerbong kereta tentu tak menanyakan alamat mereka.

Sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan, grafik kasus Covid-19 secara nasional naik turun tak keruan. Tak bisa dikenali apakah titik tertinggi ini puncak, karena sehari sebelum dan sesudah bisa jauh lebih rendah. Bila dirata-rata di atas lima ratus kasus per hari. Pernah 900, lalu turun ke angka 415, esoknya naik lagi ke angka 600. Bertahan tiga hari.

Hari ini ada 1.043 kasus baru terkonfirmasi. Pada 6 Juni, diumumkan 993 kasus. Tapi, kemarin: 847. Angka-angka kasus tinggi diumumkan berbarengan dengan persiapan beberapa wilayah di Indonesia mencoba kemungkinan new normal. Di Jakarta persiapannya diberi nama: PSBB Transisi.

Lanjutkan perilaku semasa PSBB

Dalam keterangan pers tanggal 6 Mei 2020, Presiden telah menyiratkan kemungkinan berjalannnya normal baru. Kata Presiden waktu itu, “berdamai” dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan.

Segala macam kebiasaan yang dilakukan selama masa PSBB, sebaiknya masih terus diterapkan. Tapi siapa yakin, kita-kita kemarin sudah menerapkan anjuran jaga jarak dan rajin cuci tangan? Debit air dalam toren di stasiun cuci tangan tangan publik mungkin belum mau habis. Ada juga yang sudah lama lupa untuk mengisi ulang air dalam gentong, galon, atau ember cat putih di depan gangnya. Sabun juga tidak tersedia. Apalagi yang lupa menyediakan penadah air bekas cuci tangan.

Jangan lupa, penelitian Ricarda Schmithausen dkk di atas, menganjurkan untuk tetap waspada dengan air limbah, karena kemungkinannya terkontaminasi, meski berada di bawah 10 persen.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mewanti negara yang menerapkan normal baru harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya: negara tersebut bisa mengendalikan penyebaran Covid-19; kapasitas sistem kesehatan termasuk juga fasilitasnya; fasilitas kepada kelompok rentan; patuh pada protokol jaga jarak dan perilaku hieginis; risiko kasus impor bisa dikelola; dan masyarakat terlibat dalam kehidupan normal baru.

Apakah normal baru lebih baik dari “normal dulu”? Atau sebenarnya sama saja. Yang membedakan adalah kekhawatiran–jika memang virus ini dipikirkan. Masih ingat penyelenggaran Ijtima Ulama Dunia di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan? Dari 214 kasus di Kalimantan Timur, sebanyak 152 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 berasal dari klaster tersebut.

Ketika jalur penerbangan domestik di Bandara Soekarno-Hatta pertama dibuka, orang berbondong-bondong memanfaatkan kesempatan itu untuk pulang kampung. Itu terjadi justru ketika pemerintah daerah tengah menerapkan PSBB dan beberapa hendak menerapkan PSBB.

Bagaimana setelah PSBB Transisi?

Senin, 8 Juni, hari pertama pegawai swasta dan negeri berkantor. Dari video amatir yang berseliweran di grup WhatsApp, terekam antrean penumpang di Stasiun Kota Bogor mengular. Betul-betul mengular. Bejibun menunggu giliran masuk, seperti antre di depan pintu stadion sepak bola yang loketnya mau dibuka setengah jam lagi.

Antrean di Stasiun Bogor, hari pertama secara serempak para pegawai memulai rutinitas kantor, Senin, 8 Juni 2020.

Kondisi serupa terlihat di beberapa halte di Jakarta. Bertepatan dengan pengumuman Gubernur DKI Jakarta mengenai PSBB Transisi, di halte Harmoni, khususnya di koridor Pulogadung, sekitar pukul lima sore, antre panjang melebihi besi pembatas. Di halte Tosari juga begitu. Penumpang lantas berdesak-desakan masuk ke dalam bus.

Semoga saja tidak ada orang tanpa gejala (OTG) yang ikut antre di sana. Bila ada, semoga ia tak bersin atau batuk, dan semburannya tumpah ke mesin pindai uang elektronik. Semoga saja normal baru, mengantarkan pemerintah ke penemuan jalan normal untuk menghadapi Covid-19 yang terus ngotot ini.

Merujuk kasus positif secara nasional enam hari terakhir, kondisi bukan menuju ke “normal baru” tapi “kasus normal baru”. Artinya, kasus Covid-19 tetap normal: berada di ambang batas kekhawatiran. []

Baca juga: Bila “Virus Ini” Tak Akan Pernah Lenyap

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.