Bila “Virus Ini” Tak Akan Pernah Lenyap

WHO mengingatkan virus penyebab Covid-19 mungkin tak akan pernah hilang. Yang pernah “normal” kita kerjakan, tak akan terulang atau kembali.

Sebagai suatu istilah yang makin terkenal, SARS-CoV-2 terlalu teknis dan bikin pegel untuk diucapkan. Kita sudah mulai menyebutnya “virus” saja, atau diimbuhi kata “ini”. Lawan bicara tahu virus apa yang dimaksud. Dalam obrolan kelompok sejawat, karena sudah lama tak kumpul, istilah pengganti yang digunakan bisa lebih seram. Misal, “nanti lah kita kongkow lagi kalau ‘setan’ ini sudah pergi.”

Kapan ia pergi?

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation/WHO) mewanti, “virus (ini) mungkin tak akan pergi.”

Virus penyebab Covid-19 (dinamakan SARS-CoV-2), menurut WHO, mungkin akan menjadi seperti endemi virus lain dalam komunitas kita. “(Virus) HIV tidak pergi, tapi kita telah bersepakat dengannya.”

Keterangan itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan WHO, Dr Michael Ryan, pada media briefing, Rabu petang waktu Jenewa. Pernyataan Ryan menggarisbawahi tantangan yang dihadapi oleh negara-negara di dunia untuk membuka kembali aktivitas ekonomi, setelah pandemi memaksa setengah wilayah Bumi mengunci diri.

Dr Mike Ryan, WHO, dalam keterangan pers di Jenewa, 13/5. Sumber: kanal YouTube The Guardian.

Dampak “virus ini” memang bukan saja membikin limbung fasilitas kesehatan masyarakat, namun membuat banyak bisnis gulung tikar, dan pekerja kehilangan mata pencarian. Sudah lebih dari 2 juta orang Indonesia kehilangan pekerjaan. Mereka yang statusnya belum dipecat, ada yang diminta ambil cuti tanpa gaji; yang masih bekerja mengalami pemotongan upah bulanan; tunjangan hari raya (THR) dicicil 2-4 kali hingga bulan Desember nanti.

Baca juga: Gelombang PHK di Tengah Pandemi

Riset Ekonomi, Perbankan dan Industri Grup BCA, dalam paparan webinar bersama Kementerian Keuangan, 20 April lalu, mengungkapkan tiga level dampak terhadap kinerja beberapa sektor ekonomi.

Dampak terendah, yakni mengalami penurunan kinerja hingga 10 persen, dialami oleh industri kemasan, pembangkit listrik, alat kesehatan, e-commerce, telekomunikasi, retailer barang-barang esensial, makanan pokok, dan tembakau.

Dampak menengah, antara 10-30 persen, terjadi di sektor keuangan dan pembiayaan, otomotif, pusat belanja, peternakan dan perikanan, komoditas besar, serta retailer atau distribusi barang-barang non-esensial.

Paling tinggi, lebih dari 30 persen, dialami sektor pariwisata; manufaktur tekstil, kimia, dan plastik; farmasi; bahan bangunan dan alat berat; serta properti dan konstruksi. Pariwisata terutama meliputi usaha perhotelan, restoran, transportasi dan agen perjalanan.

Status-status di Indonesia

Seluruh provinsi di Indonesia sekarang mengalami kasus Covid-19. Persisnya di 379 kabupaten/kota dari total 514 yang ada, termasuk kabupaten dan kota administratif. Hingga 13 Mei, Kementerian Kesehatan RI melaporkan kasus sebanyak 15.438 pasien, 3.287 di antaranya dinyatakan sembuh. Angka kematian di Indonesia relatif masih tinggi, yakni 6,6 persen atau 1.028 orang dari seluruh kasus terkonfirmasi.

Kemarin itu kita mencatat temuan kasus positif paling tinggi sejak 2 Maret, yakni 689 orang. Kasus terbanyak sebelumnya dilaporkan pada 9 Mei (533 kasus), dan 5 Mei (484 kasus)

Kementerian Kesehatan menyilakan pemerintah daerah melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mengurangi penyebaran virus. Per hari ini ada 4 provinsi dan 27 Kabupaten/Kota yang menerapkan PSBB. Selain itu, ada 3 provinsi dan 108 kabupaten/kota berstatus “Siaga Darurat Bencana”; ada 18 provinsi dan 103 kabupaten/kota menetapkan status “Tanggap Darurat Bencana”; dan 4 provinsi serta 22 kabupaten/kota berstatus “Keadaan Tertentu Darurat Bencana.”

PSBB pertama kali dilakukan oleh DKI Jakarta, 10 April hingga 22 Mei mendatang. Namun, sebelumnya pergerakan orang di ibukota sudah mulai dikurangi secara drastis, beberapa pekan sebelum PSBB.

Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, menutup sekolah-sekolah dan memerintahkan siswa belajar dari rumah mulai Senin, 16 Maret 2020. Sepekan kemudian, perusahaan, bank dan kantor pemerintah daerah di Ibukota diminta untuk mengurangi kegiatan bekerja di kantor dan diganti dengan bekerja dari rumah, Senin, 23 Maret.

Baca juga: Covid-19 Belum “di Depan Mata”?

Praktis hampir 2 bulan lalu lintas di Jakarta lebih lengang. Sudah 1,5 bulan pusat belanja bukan kebutuhan pokok tutup. Baru-baru ini mulai muncul percakapan tentang relaksasi. Setelah PSBB berakhir, kebijakan pembatasan pergerakan orang akan dilonggarkan.

Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, sudah mulai duluan sejak 7 Mei lalu. Ia membolehkan maskapai penerbangan untuk kembali terbang. Katanya, kebijakan jaga jarak dan wajib masker tetap harus diterapkan sesuai protokol kesehatan. Hari ini, beredar foto situasi padat di Terminal 2 Keberangkatan Bandara Soekarno-Hatta.

Anjuran jaga jarak fisik diabaikan. Penyebabnya, kondisi untuk saling menjaga jarak fisik tidak disediakan oleh Otoritas Bandara.

Penumpang antre tanpa jarak memadai di lobi Terminal 2 Kedatangan, Bandara Seokarno-Hatta, 14 Mei 2020. Foto: Detikcom | Reza

Baca juga: Mengapa Pembatasan (Justru) Bisa Keliru?

Berdamai sebelum divaksin

Sepekan lalu, Presiden RI, Joko Widodo, mengingatkan bahwa kurva kasus Covid-19 masih akan fluktuatif. Ia lalu menganjurkan, “sampai vaksin yang efektif ditemukan, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19.”

Itu artinya, perilaku dan tata aturan kehidupan sehari-hari dilakoni dengan cara-cara baru. Menurut ahli epidemi Universitas Indonesia, Pandu Riono, masyarakat harus meneruskan kebiasaan selama PSBB berlangsung.

Saat ini ada 100 calon vaksin yang tengah diuji dan dikembangkan. Namun, Dr Michael Ryan, mengingatkan bahwa ada penyakit-penyakit lain, misal saja campak, yang telah ada vaksinnya namun penyakitnya belum dapat dihilangkan. Dengan kata lain, perubahan perilaku tetap kunci mengurangi penyebaran si “virus ini”.

Ahli epidemiologi WHO, Maria van Kerkhove, menambahkan, “kita perlu menanamkan pola pikir bahwa perlu waktu (lama) untuk keluar dari pandemi ini.”

Kita perlu membuat daftar untuk dilakoni sehari-hari: bagaimana ruang kelas di sekolah, kubus kantor, transportasi umum, tak lagi salaman tangan, pengganti cipika-cipiki, aturan kerapatan saf jemaah, jarak duduk di kafe (dan mungkin perubahan harga layanan), … silakan ditambahkan.

Perlu protokol juga untuk jaminan kebersihan kamar hotel jam-jaman? Sila masukkan dalam daftar.

Tapi, apakah peringatan Presiden RI dan WHO mengisyaratkan kita sesegera mungkin merelaksasi pembatasan pergerakan orang? Artikel lanjutan SpektatorID dalam rubrik “Normal Baru” akan mengupasnya. []

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.