[Artikel terjemahan, ditulis oleh Shane Preuss dalam The Diplomat]
“Untuk setiap wisatawan yang beruntung meninggalkan Indonesia, ada jutaan orang Indonesia yang tak bisa keluar.” Ini kesimpulan laporan ABC News pada akhir Maret, mengenai situasi yang dihadapi orang Indonesia selama wabah COVID-19.
Fokus laporan itu menggambarkan “situasi mengerikan” dari “meningkatnya jumlah orang yang mengalami kegagalan pernapasan” dan menyoroti kemiskinan serta tekanan yang ditimbulkan oleh virus (SARS-CoV-2) terhadap sistem kesehatan di Indonesia. Kesan secara keseluruhan: sebuah negara yang hancur.
Laporan dan analisis berita selanjutnya dari media Australia menyoroti rendahnya tingkat pengujian (Covid-19 testing) di Indonesia, serta kesalahan langkah yang dilakukan pemerintah di masa-masa awal krisis. Dalam hal ini, Indonesia tidak sendirian. Pemerintah di seluruh dunia, belum lagi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga keliru memperhitungkan ancaman.
Tantangan buat Indonesia—negara dengan populasi terpadat keempat di dunia dan wilayah urban terbesar kedua di dunia (Jabodetabek)—tentu saja sangat besar. Dan bagi umumnya negara-negara berkembang, upaya menyeimbangkan ekonomi dengan kesehatan masyarakat menciptakan ketegangan yang lebih akut. Ekonomi lebih anjlok (dibanding dengan negara maju yang menghadapi wabah).
Namun, apa yang dilewatkan oleh media Australia adalah ketahanan (daya lenting) masyarakat Indonesia. Media Australia cenderung menggambarkan negara ini sebagai bangsa yang malang dan tidak berdaya. Video laporan ABC News disebar ke grup-grup WhatsApp oleh banyak orang Indonesia yang merasa heran dengan pandangan merendahkan yang ditunjukkan oleh orang-orang dari negara lain.
Meski negara ini menghadapi tantangan penting, orang Indonesia telah mengatasi banyak cobaan besar sebelumnya: bencana alam yang luar biasa, pemerintahan kolonial selama berabad-abad, perjuangan kemerdekaan, konflik sipil, dan kekacauan yang terjadi setelah krisis keuangan di Asia tahun 1998 yang menyebabkan jatuhnya kediktatoran serta reformasi sistem politik dan ekonomi negara.
Dengan semua peristiwa itu, terbukti bahwa orang Indonesia telah belajar untuk bersatu ketika menghadapi masa-masa sulit. Mereka sama-sama memiliki rasa tanggung jawab sekaligus merasakan sukacita besar dalam membantu satu sama lain saat dibutuhkan.
Dalam Legatum Prosperity Index 2019, Indonesia berada di peringkat kelima di dunia untuk modal sosial dan peringkat pertama untuk partisipasi sipil dan sosial. Angka kerelawanan Indonesia tertinggi dari negara mana pun di dunia. Dalam Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018, Indonesia juga menduduki peringkat teratas dalam frekuensi sumbangan dan aktivitas kerelawanan.
Itu sebab, tidak mengherankan ada begitu banyak kampanye crowdfunding (urunan massal) yang telah diluncurkan pada berbagai platform lokal seperti kitabisa.com untuk membantu mereka yang membutuhkan. Termasuk penggalangan dana untuk menolong para pekerja sektor informal seperti kaki lima, pemulung dan pengemudi ojek, bahkan membeli alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Pada akhir Maret, 15 ribu mahasiswa kedokteran dari 158 universitas mendaftar menjadi relawan.
Dunia juga masih meremehkan tingkat inovasi di Indonesia. Padahal, universitas dan perusahaan teknologi telah berkontribusi besar terhadap perjuangan negara melawan COVID-19. Universitas Indonesia, misalnya, mengembangkan bilik disinfeksi berbasis-ultraviolet untuk peralatan medis, dan kini sedang melanjutkan penelitian dan pengembangan untuk APD, instrumen rapid test COVID-19, serta pengobatan.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) bekerja sama dengan Rumah Sakit Universitas Airlangga mengembangkan bilik disinfektan yang menggunakan ozon (O3), ketimbang menggunakan disinfektan kimia yang tidak aman. Mereka juga mengembangkan robot yang dapat digunakan untuk berkomunikasi jarak jauh dengan pasien, memantau kondisi pasien dan mengirimkan barang-barang seperti makanan dan pakaian. Banyak perusahaan manufaktur mulai memproduksi APD dan cairan sanitasi tangan (hand sanitizer), sementara yang lain bermitra dengan universitas untuk memproduksi ventilator.
Indonesia pun rumah bagi startup dan sektor digital yang berkembang pesat. Perusahaan-perusahaan e-commerce, pendidikan, kesehatan dan transportasi telah memungkinkan orang untuk mempertahankan kehidupan senormal mungkin. Fitur layanan pengiriman makanan dan barang dari perusahaan ojek, seperti Gojek dan Grab (berbasis di Singapura), membantu para pengemudi dan penjual makanan mempertahankan pos pendapatan mereka. Selain itu, banyak toko daring seperti Tokopedia, Bukalapak dan Blibli memungkinkan pembelian dan pengiriman barang serta bahan makanan.
Aktivitas telemedicine juga meningkat, seiring dengan upaya pemerintah mencari sektor yang dapat membantu sistem perawatan kesehatan. Alodokter, salah satu aplikasi telemedicine yang paling populer di Indonesia, kelimpahan 900 ribu pengguna untuk layanan konsultasi daring tentang COVID-19, hanya dalam waktu sepekan setelah diluncurkan pada bulan Maret. Selain layanan konsultasi daring reguler, aplikasi Halodoc berkolaborasi dengan lebih dari 20 rumah sakit di Jabodetabek dan Karawang, Jawa Barat, untuk memungkinkan orang membuat janji rapid test COVID-19 atau tes PCR. Resep dari konsultasi daring juga dapat dibeli dan dikirim melalui Gojek.
Sementara itu, pemerintah Indonesia—seperti semua pemerintah di dunia—terus berjuang menghadapi tantangan besar. Inisiatif-inisiatif bottom-up dari masyarakat ini menunjukkan sisi lain bagaimana negara ini merespons COVID-19. Orang Indonesia akan bersama-sama menghadapi krisis COVID-19 dengan rasa percaya diri, dan ini sesuatu yang patut disorot.
(Shane Preuss adalah ekspatriat Australia yang berprofesi sebagai copy editor dan konsultan bahasa di The Jakarta Post)
Sumber: https://thediplomat.com/2020/04/indonesia-and-covid-19-what-the-world-is-missing/