Orang Salah Tentang Dampak Sosial Pandemi

Pada Maret 2020, sebuah studi meminta para ahli dan orang awam memberikan prediksinya. Tidak ada satu pun kelompok yang prediksinya mendekati benar.
Ilustrasi gambar oleh AzamKamolov from Pixabay

[Artikel terjemahan. Ditulis Michael Varnum, Cendri Hutcherson, dan Igor Grossmann dalam Foreign Policy]

Segera setelah pandemi COVID-19 merebak, banyak orang sadar bahwa kehidupan akan berubah secara mendasar. Mungkin tak akan dapat kembali ke posisi semula. Berbagai diskusi tentang “normal baru” menyebar di media sosial, media massa populer, dan publikasi ilmiah.

Tapi, saat itu masih belum jelas seperti apa normal baru. Selain jarak sosial atau bekerja dan belajar dari rumah, bagaimana COVID-19 mengubah cara berpikir dan berperilaku kita? Apakah depresi dan rasa kesepian akan meningkat, atau orang justru terbukti tangguh dan sanggup beradaptasi? Apakah hubungan antarpasangan akan menderita karena menghabiskan lebih banyak waktu bersama? Apakah orang akan menjadi lebih terbuka terhadap perubahan budaya karena mereka dipaksa untuk beradaptasi? Atau apakah mereka akan kembali pada tradisi dan ritual lama?

Pada hari-hari awal yang serba tak pasti itu, para ahli, politikus, dan selebritas sama-sama menawarkan prediksi dan resep mereka. Begitu pula beberapa ilmuwan bidang perilaku dan sosial. Bagi kami, sekelompok ilmuwan dengan minat yang sama untuk memahami bagaimana ilmu sosial dan perilaku dapat memberikan informasi terbaik tentang kebijakan publik, ini adalah kesempatan emas untuk menguji seberapa ahli para ahli.

Dalam usaha berskala besar yang dimulai sejak April tahun lalu, kami berusaha melacak sejauh mana ilmuwan sosial dan perilaku (termasuk psikolog sosial dan klinis, ahli dalam penilaian dan pengambilan keputusan, ahli saraf, ekonom, dan ilmuwan politik) secara akurat memprediksi dampak COVID-19 terhadap sejumlah area psikologis dan perilaku—mulai dari tingkat kepuasan hidup dan rasa kesepian, hingga prasangka dan tindak kejahatan dengan kekerasan—di Amerika Serikat. Kami juga meminta warga AS membuat prediksi semacam ini. Setengah tahun kemudian, kami menilai keakuratan semua prediksi tersebut.

Jadi, bagaimana COVID-19 membentuk kembali psikologi masyarakat?

Secara mengejutkan, sejumlah temuan penelitian yang cukup meyakinkan menunjukkan bahwa jauh lebih sedikit perubahan yang terjadi daripada yang diperkirakan sebelumnya. Rasa kesepian, jika memang mengalami peningkatan, terjadi dalam jumlah yang sangat kecil. Kepuasan orang pada hubungan yang dijalaninya memang menurun, namun trennya—sekali lagi—sangat kecil. Jauh dari perubahan dramatis yang sebelumnya diperkirakan orang pada Maret tahun lalu. Motivasi sosial mendasar orang—berhubungan satu sama lain, mencapai status tertentu, menemukan pasangan romantis, atau merawat keluarga—juga hanya mengalami sedikit perubahan sebagai respons terhadap pandemi.

Dalam studi yang didanai oleh National Science Foundation dan melibatkan lebih dari 15.000 partisipan di seluruh dunia, hanya motivasi untuk menghindari penyakit menular yang menunjukkan perubahan signifikan dari masa sebelum pandemi. Ya, ini tentu saja tidak mengherankan.

Cara lain untuk mengukur perubahan yang ada juga memberikan gambaran serupa. Dengan menggunakan data survei dari sampel yang besar dan representatif secara nasional, kami menemukan bahwa hanya ada sedikit atau tidak ada perubahan sama sekali dalam 10 area psikologi dan perilaku manusia — mulai dari kesejahteraan subjektif hingga tradisional — yang semula diperkirakan mungkin akan menunjukkan perubahan dramatis.

Temuan ini tak terduga oleh banyak orang, termasuk para ahli perilaku manusia dan dinamika sosial dalam penelitian kami, yang prediksinya ternyata tidak akurat secara umum. Mayoritas perkiraan meleset setidaknya 20 persen, dan hanya kurang dari setengah partisipan kami yang memprediksi dengan tepat.

Bagaimana semua prediksi ini bisa salah?

Biasanya mereka terlalu ekstrim. Dengan kata lain, psikologi dan perilaku manusia menunjukkan kelemahan lebih banyak daripada yang dapat diantisipasi oleh sebagian besar partisipan. Satu-satunya pengecualian datang dari area tindak kejahatan dengan kekerasan. Ini meningkat 20 persen sejak musim semi hingga akhir musim gugur. Ironisnya, ini adalah area yang sebelumnya diperkirakan oleh partisipan kami hampir tidak ada perubahan.

Secara mengejutkan pula, kinerja para ahli dalam penelitian kami tidak lebih baik ketimbang orang awam, dengan prediksi yang hampir identik (dan sama tidak akuratnya) mengenai dampak pandemi dalam berbagai fenomena. Bahkan para ilmuwan dengan keahlian yang lebih spesifik, seperti pengalaman training ilmu sosial dan fenomena sosial secara khusus, tidak menunjukkan hubungan apa pun dengan keakuratan prediksi.

Barangkali para ahli lebih baik dalam menilai tren yang berlaku surut?

Untuk melihat kemungkinan ini, pada akhir Oktober dan awal November silam kami kembali merekrut sampel ilmuwan sosial dan perilaku serta orang awam. Kali ini kami meminta mereka memperkirakan berapa banyak perubahan yang terjadi akibat Covid-19 selama enam bulan terakhir. Menariknya, prediksi secara surut ini sangat mirip dengan prediksi yang dibuat pada saat musim semi, dan seperti halnya prediksi sebelumnya, jauh dari tren aktual. Bahkan dengan melihat ke belakang, masyarakat, termasuk para ahli, masih salah menilai dampak Covid-19.

Mengapa prediksi dan ekspektasi mengenai dampak sosial pandemi meleset begitu jauh? Sederhananya, prediksi itu sulit—bahkan, atau mungkin terutama, bagi para ahli. Dalam beberapa prediksi turnamen sejak 1980-an dan terus berlanjut hingga saat ini, Philip Tetlock telah menunjukkan bahwa para ahli umumnya membuat prediksi yang buruk tentang peristiwa geopolitik, seringkali kinerja mereka hanya sedikit lebih baik ketimbang simpanse pelempar panah. Mengapa?

Tetlock mengidentifikasi sejumlah faktor, faktor kunci di antaranya adalah terlalu percaya diri dan abai terhadap data dasar — ​​sebuah kecenderungan untuk melihat setiap peristiwa adalah unik dan mengorbankan pertimbangan bahwa peristiwa serupa mungkin telah terjadi di masa lalu.

Dengan nada yang sama, Daniel Kahneman bersama koleganya telah mengidentifikasi beberapa bias kognitif yang membuat para ahli membuat prediksi yang buruk, termasuk di dalamnya terlalu berpatokan pada peristiwa terkini yang menonjol, terlalu cepat membuat penilaian, dan terlalu lambat mengubah pikiran mereka ketika ditemukan bukti baru.

Namun demikian, bukan berarti orang awam membuat prediksi dengan lebih baik. Mereka juga terjebak dalam perhitungan spekulatif dan mengalami bias dalam penalarannya. Hal ini ditunjukkan oleh Kahneman dan kolaborator lamanya, Amos Tversky, dalam proyek penelitian mereka yang mendapatkan Hadiah Nobel. Masyarakat, termasuk para ahli, juga cenderung sangat buruk dalam memprediksi perasaan mereka sendiri di masa depan, salah menilai intensitas dan lamanya reaksi emosional mereka atas berbagai peristiwa seperti menang lotre atau putus cinta yang menyakitkan.

Apakah ini berarti orang harus mengabaikan nasihat ilmuwan perilaku dan sosial? Tidak—meskipun adilnya, sebagai ilmuwan perilaku dan sosial, kami cenderung mengatakan demikian. Ada banyak contoh keberhasilan penerapan teori dan penelitian dari bidang-bidang ini dalam masalah dunia yang nyata, mulai dari penggunaan norma deskriptif oleh Robert Cialdini untuk mempromosikan perilaku ramah lingkungan, hingga penggunaan stiker Skinner oleh orang tua untuk membuat putrinya menyikat gigi secara teratur. Peramalan hanyalah salah satu bagian dari keahlian — dan mungkin yang paling sulit.

Dan bicara tentang peramalan, para ahli perilaku manusia dan dinamika sosial ini setidaknya memiliki satu kebaikan: Mereka tampak lebih sadar akan keterbatasannya sendiri. Dalam pekerjaan kami, para ahli bukanlah para peramal yang merasa unggul, mereka lebih rendah hati. Para ilmuwan dalam penelitian kami jauh lebih tidak percaya diri dengan prediksi mereka daripada orang awam. Ini artinya mereka tahu bahwa prediksi spesifik mereka tidak seharusnya ditelan mentah-mentah begitu saja.

Bagaimana kita bisa menjadi peramal yang lebih baik?

Di sini, kerja Tetlock pada apa yang disebut “peramal super”, individu yang membuat prediksi yang sangat akurat, mungkin informatif. Para peramal super tampaknya bernalar dengan cara berbeda dari orang lain. Mereka lebih bersedia untuk mengakui adanya ketidakpastian, mencari sudut pandang yang berlawanan, dan memperbaharui pemikiran mereka ketika ada bukti baru.

Studi menunjukkan bahwa strategi penalaran yang serupa akan membuat orang menjadi lebih baik dalam meramalkan emosinya sendiri di masa depan, dan bahwa pelatihan untuk belajar melihat dari sudut pandang yang berbeda akan dapat meningkatkan kemungkinan berkembangnya pemikiran semacam ini. Lebih jauh, pekerjaan Tetlock dan kolaboratornya belum lama ini juga menunjukkan bahwa pelatihan singkat dalam penalaran probabilistik dapat meningkatkan kemampuan orang untuk meramalkan peristiwa geopolitik.

Penelitian tentang peramalan juga menyarankan kunci lain untuk meningkatkan keakuratan prediksi: latihan. Terlepas dari pelatihan soal metode penalaran, semakin banyak latihan/praktek meramal akan meningkatkan tingkat keakuratan prediksi seseorang. Sayangnya, para ahli dan ilmuwan perilaku dan sosial umumnya dilatih untuk lebih menitikberatkan pada penjelasan (mengenai peramalan) daripada prediksinya sendiri. Dan seringkali penjelasan fenomena semacam itu bersifat post hoc. Di bidang kami, psikologi, bahkan ketika peramalan dibuat secara a priori, peramalan tersebut biasanya dibatasi pada hasil manipulasi eksperimental tertentu atau analisis statistik tertentu. Peramalan di luar sampel jarang terjadi dalam psikologi. Namun yang lebih jarang lagi adalah peramalan ex ante dari hasil dunia nyata.

Sederhananya, kami hanya memiliki sedikit pelatihan tentang cara membuat prediksi semacam ini untuk diterapkan di dunia nyata, dan sedikit pula mempraktikkannya.

Selain melatih diri sendiri untuk bernalar dengan cara berbeda, kita dapat menjadi peramal yang lebih baik dengan melibatkan diri dalam lebih banyak kerja peramalan. Kita harus, seperti yang disarankan Tetlock, “mencoba, gagal, menganalisis, menyesuaikan, dan mencoba lagi.” []

Sumber artikel: Everyone Was Wrong on the Pandemic’s Societal Impact, Foreign Policy, 18 Maret 2021.

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.