Fatamorgana Zona Hijau

Lemahnya pengetesan dan pelacakan dibarengi dengan obsesi yang tak berdasar jadi zona aman.
Polisi memeriksa dokumen perjalanan warga di Jalan Tol Jakarta-Cikampek menjelang libur lebaran 2021. (Foto: Dok. PT Jasamarga)

Sebelum mengakhiri sambutannya dalam peluncuran “Gebyar Vaksinasi COVID-19 bagi Lansia” pada hari Selasa, 18 Mei, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan kalau masih banyak otoritas daerah yang sengaja memperkecil jumlah testingnya untuk mengelabui status zona hijau, yang berarti aman dan tentu pergerakan manusia akan lebih terakomodasi.

“Banyak Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) karena pengennya [zona] hijau, testingnya disedikitin,” katanya. “Itu bisa [menyebabkan jumlah kasus] meledak, apalagi dengan adanya virus baru. Kita mesti lebih agresif tesnya supaya tahu dia [virusnya] ada di mana.”

Lemahnya pengetesan dan pelacakan dibarengi “niat” yang besar–seperti situasi yang Menteri Kesehatan sampaikan di atas–semakin menyempurnakan kalau wilayah zona hijau hanyalah sebuah fatamorgana.

Pengetesan dan pelacakan memang selalu menjadi pekerjaan rumah yang rumit. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan testing dilakukan minimal 1:1000 dari total populasi dalam sepekan. Indonesia berarti harus mengetes 271 ribu orang per pekan. Sementara dari satu kasus minimal melakukan pelacakan ke 30 orang kontak eratnya.

Problem pelacakan

Sembilan bulan setelah WHO mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi di pertengahan Maret, Jurnal Nature menuliskan bahwa hanya sedikit negara yang efektif melacak kontak erat.

Di Inggris, satuan gugus tugasnya gagal melacak satu dari delapan kasus, 18 persen dari yang mereka hubungi tidak memberikan kontak secara merinci. Selain itu, satu survei yang dilakukan dengan cepat di awal bulan Mei, dari total 2240 partisipan, ada 217 yang sedang mengalami gejala Covid-19 dan 75,1 persen di antaranya mengaku bahwa dalam satu hari ini sudah berjejalan ke luar rumah.

Kendala yang sering dihadapi saat melakukan penelusuran ialah orang tidak selalu dapat dihubungi untuk melakukan wawancara atau tidak memberikan detail kontak erat mereka, dan juga tidak semua kontak erat dihubungi. Di beberapa wilayah di Amerika Serikat, satuan tugasnya tidak mendapatkan rincian kontak erat lebih dari separuh jumlah kasusnya.

Dua wilayah di Carolina Utara selama periode kasus meningkat pada bulan Juni dan Juli, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mengevaluasi dan mendapati 48 persen dari total paisen Covid-19 di Mecklenburg tidak melaporkan kontak erat; 25 persen pasien yang memiliki kontak tetapi tidak mereka hubungi. Di Randolph, ada 35 persen pasien tidak melaporkan kontak erat; 48 persen kontak kasus mereka tidak hubungi. Di New Jersey, hanya 49 persen dari jumlah kasus di bulan Juli sampai November yang petugas hubungi dan cuma 31 persen dari mereka yang mau memberikan rincian kontak.

Situasi tersebut bukan berlangsung saat gelombang awal pandemi. Justru beberapa bulan berselang yang harusnya ada waktu untuk mengevaluasi.

Contoh kasus Indonesia

Seorang mantan pasien Covid-19 yang bermukim di Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta menceritakan pengalamannya saat menjalani isolasi. Ia terinfeksi di akhir bulan Desember, dan tidak ditemukan kontak erat dari kasusnya karena memang tak ada penelusuran. “Gak ada yang datang,” jawab Ebih (38). Ia cuma tahu kalau Ketua Rukun Tetangga (RT) di tempat tinggalnya sudah dapat kabar dari kantor kalau ia kena Covid-19.

Selain itu, pengetesan untuk tetangga kamarnya juga tak ada. Ia indekos bersama tiga anak dan istri. Selain mereka, ada tiga keluarga lain. Dengan dua kamar mandi bersama dan satu sumur di tengah-tengah–tempat orang-orang mencuci baju dan cuci piring, dan itu tepat berada di depan kamar Ebih.

Tetangga depan rumah Ebih, Abdul Hadi (22) juga menceritakan hal yang sama, kalau tidak ada pelacakan dan pengetesan untuk tetangga. Abdul Hadi inilah rekan kerja Ebih yang melaporkan kasusnya ke Ketua RT setempat.

Sebenarnya panggilan pengetesan datang dari Puskesmas Kelurahan Utan Kayu Utara, tapi hanya untuk keluarga Ebih. Puskesmas memberi pilihan, mau datang langsung ke puskesmas atau puskesmas yang datang ke tempat tinggalnya.

“Yah bini saya bilang: saya langsung ke puskesmas aja deh, datang sendiri. Dari pada petugas datang ke rumah bisa-bisa repot, nanti semua diswab, kan gitu,” jawabnya polos.

Selain Ebih, ada seorang barista yang indekos di Pademangan berdua bersama istrinya, Rijal Hardiawan Fauji (30) yang situasinya tak jauh beda. Kenapa begitu? Pada 1 Maret lalu ia dinyatakan positif Covid-19, tak ada penelusuran kontak erat untuk kasusnya, tak ada pula pegetesan untuk tetangganya.

“Tetangga kagak ada yang di-swab,” katanya, “gak ada.”

Ia tidak mendapat kabar apapun, atau seperti harapannya: setidaknya ada bantuan dari pemerintah, padahal ia sudah mendaftarkan Kartu Keluarga (KK) dan kartu Tanda Penduduk (KTP) ke Ketua RT sejak awal pandemi masuk ke Indonesia. Bantuan cuma datang dari kantor: telur, beras, dan daging.

Rijal Hardiawan Fauji (30) di depan dapur kafe tempat ia bekerja, 29 Mei 2021. (Foto: Arief Bobhil)
Ebih (38) saat diswab di kantornya di wilayah Utan Kayu, 1 Maret 2021. (Foto: Alim)

Juara pelacakan

Tolok ukur kesuksesan dalam penelusuran kontak, menurut WHO, ialah jika mampu melacak dan mengkarantina 80 persen kontak dekat dalam waktu 3 hari setelah kasus terkonfirmasi. Pelacakan kontak erat adalah upaya penanganan yang bertujuan mengisolasi pasien lebih cepat sebelum gejala muncul dan intensitas penularannya tinggi.

Secara sederhana penelusuran kontak kasus Covid-19 berawal dengan mewawancarai pasien untuk tahu siapa saja yang berkomunikasi dengannya dalam rentang waktu 48 jam sebelum dinyatakan positif, atau sebelum pasien menunjukkan gejala. Mereka yang masuk dalam kategori kontak erat ialah yang intesitas pertemuannya kurang dari 15 menit dan berada dalam radius satu meter.

Negara-negara yang terus meningkatkan pengetesan dan penelusuran dengan ketat, seperti Vietnam, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, dan Selandia Baru, berhasil menekan jumlah kematian. Negara-negara tersebut menindak lebih awal: mengisolasi orang yang terinfeksi dan melacak kontak erat dengan tertib. Pelacakan dilakukan sampai dengan menggunakan data pribadi seperti sinyal ponsel mereka. Dibandingkan dengan Belgia, Prancis, Italia, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat yang tak ketat dengan pelacakan, keteteran dengan jumlah kasus dan kematian.

Vietnam menelusuri kasus dengan lebih berbeda–menggunakan data tambahan, seperti posting-an Facebook atau Instagram dan data lokasi ponsel untuk memeriksa pergerakan seseorang yang masuk dalam daftar kontak erat. Setelah menelusuri dan melakukan identifikasi, Pemerintah Vietnam mengarantina mereka.

Jika skema lacak-testing-isolasi tertib dijalankan, lonjakan kebutuhan fasilitas karantina memang tak terhindarkan, karena beberapa orang tempat tinggalnya tidak memungkinkan sebagai tempat isolasi, seperti anak kos, apalagi yang kamar mandinya umum. Mengantisipasi ini, di setiap RT mungkin bisa mengakomodir tempat karantina yang layak bagi pasien di situ.

Standar pelacakan

Namun sebelum pelacakan kepada pasien bermula, hal terpenting ialah memastikan kualitas pelacaknya, dan ada berapa banyak. Jumlah sangat penting. WHO memberi standar untuk 30 pelacak per 100 ribu penduduk. Dalam laporan Jurnal Nature yang sama, menyebutkan  kalau pada bulan April, Amerika Serikat hanya memiliki 2.200 pelacak, sekitar 30 pelacak untuk 100 ribu penduduk, sekarang mereka memiliki sekitar 50.000, tetapi ini kira-kira 60 per 100 ribu di Washington DC dan 2 per 100 ribu di Montana dan Iowa.

Di Jerman, pemerintahnya berencana merekrut tim pelacak untuk mencapai 25 per 100 ribu penduduk, begitu pula Inggris, yang sedang mendekati 32 pelacak untuk 100 ribu penduduk. Taiwan yang populasinya berjumlah 24 juta dilayani oleh 600 pelacak kontak erat pada puncak wabahnya, itu berarti hanya 2,5 pelacak per 100 ribu penduduk.

Indonesia sendiri hingga Februari, seperti pengakuan Menteri Kesehatan dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baru mempunyai lima ribuan pelacak. Ini jauh dari standar yang harusnya Indonesia minimal meiliki 80 ribu pelacak. Untuk memenuhi kuota itu, Menteri Kesehatan mengatakan akan melibatkan Babinsa (Bintara Pembina Desa) dan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat).

Meningkatkan pengetesan dan pelacakan harus terus menerus, walaupun vaksinasi sedang berlangsung. Sebelum tsunami Covid-19 gelombang kedua bikin kaget dan geger, sebelum kekhawatiran epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman terjadi. Ia menyampaikan kepada kontan.co.id dalam merespon gelombang mudik, bahwa saat ini yang terjadi adalah silent outbreak–kasus wabahnya sedang dalam situasi yang tak tersingkap–dan sudah pada titik jenuh, dalam kurun satu sampai tiga bulan ke depan ledakan kasus akan terjadi.

Jika hari ini diumumkan sebagai zona hijau, tanpa melihat adanya usaha pengetesan dan pelacakan, bisa jadi itu hanya fatamorgana. []

© 2021 SPEKTATOR, segala hak dilindungi Undang-undang.